Sebagai bintang di sekolah Senior High School, kita mengerti Paula adalah gadis populer yang juga berbakat. Kecerdasannya bisa dibilang diwarisi dari ayahnya yang seorang bankir dan ibunya sebagai dosen ilmu pasti.Â
Minggu lalu secara kebetulan kutemukan koran lama di salah satu sudut perpustakaan daerah. Wajah Paula terpampang di halaman depan sebagai gadis yang nyaris mati saat ditemukan keluarganya. Tidak salah lagi, dia adalah Paula Within, teman kita semasa kecil dulu!
*
Hampir delapan puluh ketikan dari grup perpesanan yang baru akan kubaca. Cuaca tidak bersahabat akhir-akhir ini membuatku sedikit flu dan tidak bergairah menyentuh ponsel. Aku bahkan dengan lancar menghapus ratusan lainnya di hari sebelumnya.
Tapi selintas kulihat nama Paula di sana. Kucoba memusatkan perhatian membaca satu per satu.
Kami tak terlalu akrab pada saat sekolah, dan dia tidak tergabung dalam grup ini. Lalu mengapakah mereka membahasnya di sini?
"Kakakku berada dalam satu kelas piano dengannya. Paula naksir dengan guru pianonya. Tapi itu setahun lalu..." tulis Maria, dari sekolah lain.
"Apa dia kurang kerjaan?"Â timpal yang lain.
"Ada yang bilang dua bulan sebelum kejadian, Paula mondar-mandir pada psikolog..."
"Dia adalah korban perceraian kedua orang tuanya. Ibuku satu komunitas dengan Nyonya Emili," celetuk si gadis pompom.
Kepalaku mulai pening. Rasanya tak begitu penting mengetahui kabar tentang teman kita yang sedikit sombong.
*
Depresi berat dianggap menjadi penyebab utama bunuh diri di seluruh dunia,
Demikian tertulis dalam sebuah artikel kesehatan.Â
Dikatakan pula akibat dari bully-an di sekolah, atau kehilangan orang terdekat, dapat memicu gejala gangguan jiwa ini.
Aku tertegun. Apa benar?
Sesaat aku teringat pertengkaran hebat mama dan papa belakangan ini. Apakah mereka juga akan bercerai dan aku harus menjadi depresi berat karenanya?
Anak-anak seringkali tidak memahami apa yang terjadi pada orang dewasa, termasuk aku. Kalau boleh jujur, sebagai remaja aku berharap mama dan papa dapat memberikan perlindungan dan kehangatan. Nobar sambil makan roti sourdough dan teh manis. Membahas apa saja sambil tertawa cekikikan.
*
"Apa kau juga dengar Paula sudah berusaha mencelakai dirinya?" tanya Susan di ujung kasur. Setelah hari-hari yang berat, aku memutuskan menginap di rumah sahabatku ini, entah untuk berapa lama.
"Seperti apa?" aku penasaran.
"Sadis, aku tak mau cerita."
Dia menarik handuk yang tadi dia letakkan, berdendang kecil masuk kamar mandi.Â
Di meja makan, sambil menunggu si tomboy itu, aku mulai membaca grup perpesanan kami.
"Paula yang malang," seseorang dengan nomor kontak belum terdaftar menulis.
"Ada apa?" tanya yang lain.
"Penyidik menanyai gadis itu. Katanya dia lebih baik bunuh diri daripada harus dilecehkan pacar ibunya..."
"Apa??"
Pagi yang aneh. Semua orang tertarik bergosip tentang teman semasa kecil. Mungkin sebaiknya aku keluar dari grup.
*
Jadi itu yang terjadi, ya?Â
Aku mengangguk. Gadis itu, Paula, sudah ada di hadapanku. Sepertinya dia sangat nyaman di tempat rehabilitasi. Tapi aku diminta berjanji tidak mengajak yang lainnya datang.
"Mengapa kau bisa berpikir untuk bunuh diri, Paula?" aku tak sabar.
Mata sayunya memandang keluar jendela. Seorang remaja lelaki terlihat duduk di kursi roda ditemani perempuan yang kemungkinan adalah ibunya.
"Ada banyak permasalahan yang memenuhi kepalaku, pastinya..."
"Ayolah Paula," aku membujuk. "Rasa sakit adalah isi dari kehidupan..."Â
"Ya, Ayra. Dan setiap orang dapat mengatasi rasa sakit sampai batas tertentu, tetapi bukan rasa sakit emosional yang kuat seperti yang kuderita," katanya dengan pipi mulai basah.Â
*
"Kau konyol!" tulis Susan dalam ketikannya.
"Aku turut menyesal atas perceraian orang tuamu..." sambungnya lagi.
"Kenapa kau tak cerita??" tulis Susan berikutnya.
Paula benar. Ada rasa sakit emosional yang kualami, tapi tentu kami tidak mempunyai ide yang sama.
Bunuh diri adalah sikap paling bodoh. Kita tidak pernah tahu kemana kaki kita berjalan. Mungkin dalam kegelapan yang kosong. Lebih menakutkan dari kecemasan yang dialami sewaktu di dunia.
Siapa yang tahu, suicidal tought ini juga pernah menimpaku. Aku ingin melompat dari lantai empat mall waktu itu. Aku akan tergeletak di lantai dengan tulang yang retak dan limpa yang pecah.Â
Orang-orang akan berlarian menjauh, sementara petugas akan membidik mayatku dengan judul: Lagi, Remaja Tewas karena Broken Home di koran.
***
Kota Kayu, 16 Juni 2022
Cerpen ini saya dedikasikan untuk subjek parenting remaja, parentingeducation, dan gangguan mental. Semoga bermanfaat.
Ayra Amirah untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H