Aku terpana. Aku tak menyangka pagi ini akan ada badut di taman kota. Orang-orang tampak senang. Mereka segera berkumpul, menunggu sang badut melakukan atraksi.
"Ada yang salah dengan yang kulakukan?"katamu tidak terima, karena kukatakan ada badut dalam dirimu.
"Dulu aku mengenalmu tidak begini."
"Apa yang salah?"
"Kau mengubah dirimu. Demi kreward Kompasiana?"
Kau melirik sinis. Aku mendengus.
"Aku harus memancing mereka mengunjungi konten yang kutulis," katamu akhirnya.
"Tapi bukan dengan cara membuat clickbait!"
"Aku hanya ingin mereka membacanya. Apa itu salah?"
"Kau bisa menulis ide orisinal di kepalamu, jangan muter-muter yang akhirnya malah terkesan memaksa!"
Sejenak kau membisu.
"Jadi aku tidak boleh berubah?"
Aku tergugu.
Ramai anak-anak bersorak dan tertawa. Seorang ibu yang menggendong balitanya, menunjuk ke arah badut agar anaknya mengerti. Wajahnya sumringah, bahagia.
"Mungkin kau tidak sadar, tulisanmu jadi terkesan murahan, konyol... dan itu demi pageviews, demi reward!Â
Itu membuatku malu..."
Kau diam lagi, kali ini berusaha meraba kemana arah bicaraku.
"Menulis itu bukan pekerjaan utamaku. Kalau tentang uang, aku punya bisnis!
Aku ingin duduk di urutan pertama peraih reward. Aku menganggap semacam tantangan. Penyemangat menulis."
Aku mendengus lagi, kali ini mulai lelah.
"Aku suka caramu yang dulu. Idealis, meski gopay yang masuk tak seberapa."
Kau memekur, lalu berkata, "Dalam hidup, kita harus mencari cara bagaimana mencapai kesuksesan.Â
Kau pun punya target bukan, menulis di Kompasiana?Â
Sematan HL kau sudah mendapatkannya beberapa. Tapi masih kecewa karena belum pernah masuk NT apalagi FA, kan?"
Aku berdiri, geram.
"Kau bisa memahami maksudku atau tidak?"Â
Kulihat orang-orang di taman kota bergerak mengurai kerumunan. Sang badut sudah selesai melakukan tugasnya. Para penonton beranjak meninggalkan tempat, pulang.
*
Sekarang barulah terasa, tidak ada gunanya perdebatanku denganmu waktu itu.
Di satu sisi aku ingin kau tidak mengecewakan pembaca dengan judul tulisan yang heboh, tapi isinya tak sehebat kedengarannya. Ya, meski banyak yang bilang renyah dan menghibur.
Aku ingin kau seperti saat pertama kukenal, yang menumbuhkan benih cinta di hatiku.
Kini sudah tidak ada lagi badut-badut dalam dirimu. Kau tidak bisa lagi menghibur pembaca dengan kepura-puraan.Â
Kiranya inilah kesan terakhir yang ingin kau tinggalkan. Sebelum akhirnya pergi selama-lamanya, menghadap Illahi.
Kota Kayu, 25 Mei 2022
Terinpirasi dari puisi karya Mutia AH
Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H