Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bolehkah Remaja (Banyak) Membaca Cerita Fiksi?

20 Mei 2022   15:14 Diperbarui: 20 Mei 2022   15:42 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisa dibilang saya adalah ibu yang "perasa". Sedikit-sedikit mendeteksi perubahan tingkah laku sulung kami yang beranjak remaja. Mempercayai dia berjalan sendirian, namun sesungguhnya mengawasi dari balik dedaunan di dekatnya!

Tunggu, mungkin ilustrasi demikian agak berlebihan. Pembaca akan menyamakan saya dengan ibu lebay, atau over protective.

Dalam rangka hari buku nasional yang diperingati pada tanggal 17 Mei, saya ingin sedikit bercerita tentang kebiasaan membaca yang dimiliki si sulung yang baru menjelang 15 tahun.

*

Kalau dulu saya banyak menghabiskan waktu di Perpustakaan Umum sepulang sekolah, tidak demikian dengan gen Z saat ini. Suka atau tidak suka, mereka berada di zaman yang identik dengan gawai dengan segala kemudahannya.

Dulu juga, saya lebih meminati cerita detektif Lima Sekawan ketimbang cerita roman yang membuat risih ketika membacanya. Tetapi saya tidak bisa menampik ketika kemudian sulung kami justru terpikat pada cerita drama penuh romansa. Termasuk tontonan drakor yang booming dewasa ini.

Seorang kawan yang berpengalaman menulis buku budaya serta buku dongeng anak, Utari Ninghadiyati, sempat menyampaikan apa saja sisi positip tayangan yang juga ia ikuti.

Remaja memperlihatkan perubahan sikap

Kebiasaan membaca yang dilakukan si sulung, sebenarnya mirip dengan yang dilakukan suami. Keduanya sama-sama rajin membaca cerita fiksi di waktu-waktu senggangnya. 

Saya sedikit terpana, karena di Kompasiana saya banyak menulis konten cerpen, sementara mereka berdua gemar membaca cerita fiksi dari dua aplikasi (lain) yang berbeda.

Masalah timbul, saat sulung kami menunjukkan perubahan sikap yang membuat saya cenat-cenut. 

Hmm, apakah itu? Sifat "perasa" saya pun mulai bekerja.

Pertama, ia banyak menghabiskan waktu di kamar, tenggelam dalam puluhan bab cerita yang ia baca

Kedua, ketika tidak sedang membaca, ia menjadi lebih jarang bicara dibandingkan sebelumnya, meski sesekali masih bertanya beberapa hal

Ketiga (dan ini yang membuat saya geram), ia tampak memiliki sebagian tanda remaja yang depresi.

Artikel saya terkait: 

1. Depresi pada Remaja Akibat Kurangnya Pendampingan Orang Tua

2. Mengerikannya Orang yang Depresi

3. Menjadi Polisi Anak Remaja, Bagaimana Caranya?

Untuk beberapa lama, saya memang berupaya mencari tahu apa gerangan yang sudah terjadi. Mengapa si sulung yang saya banggakan, berubah menjadi penyendiri, pendiam dan tidak bersemangat?

Saya mengajaknya berbicara dari hati ke hati, tentang apa yang dia rasakan. Apa sebenarnya yang dia inginkan, dan mengapa akhir-akhir ini dia sering terlihat murung.

Sebagian orang tua, boleh jadi menganggap sikap murung pada remaja adalah hal yang wajar. Mungkin mereka sedang mengalami perubahan mood/suasana hati, atau semacam perubahan hormon yang berpengaruh pada psikisnya.

Suami, yang memang mempunyai analisa tajam untuk hal-hal sebelum ini, langsung menyatakan bahwa sulung kami terlalu banyak berimajinasi tentang apa yang dia baca akhir-akhir ini.

Tidak ingin melakukan self diagnosa, pada suatu kesempatan saya bertanya dan memberi ruang seluas-luasnya kepada si sulung untuk mengungkapkan unek-unek yang dirasakannya.

Penanggulangan

Mulanya, saya bertanya kisah apakah yang sedang dibacanya. Dan ternyata dia tertarik pada kisah berlatar kerajaan dimana sepasang kekasih berbeda kasta sedang memperjuangkan cinta mereka.

Menurut pengakuan si sulung, tidak ada unek-unek khusus. Dia hanya merasa terhibur saat membaca cerita fiksi yang berakhir bahagia. 

Hmm, apakah itu benar? Waktu pun kembali berlalu. 

Sebagai seorang ibu, yang sudah saya lakukan untuk mengatasi hal ini adalah memberi tugas agar sulung kami menyimak ulasan tentang remaja, dari konselor 1%. Mulai dari permasalahan yang biasa dihadapi, pola perkembangan, sampai solusi terbaik. Satu video setiap hari. 

Foto: dokpri
Foto: dokpri

Selain mencatat ringkasan dari tayangan You Tube tersebut, sulung kami juga wajib menceritakan kembali dengan bahasanya sendiri, apa yang tertangkap oleh pemahamannya.

Dan ternyata, langkah ini belum memberikan sebuah hasil yang ideal. 

Si sulung bukannya menjadi bersemangat seperti yang saya harapkan. Justru, saya merasa kalau ia membutuhkan uluran tangan lebih jauh lagi. 

Introspeksi

Akhirnya saya mulai melakukan introspeksi, menanyai diri sendiri. Apakah saya sudah bersikap terlalu keras selama ini? 

Seorang ibu yang "perasa" seperti saya, mungkin selalu memantau dan mengawasi setiap perkembangan dan gerak-gerik anak-anaknya. Tidak peduli prestasi yang ditunjukkan sudah memuaskan hati, saya terus memberikan arahan demi arahan. 

Selain membiasakan anak-anak melakukan segala sesuatunya secara terjadwal, ada kalanya saya juga memberlakukan pola hukuman saat mereka melakukan kesalahan.

Contoh: 

Saat mereka menunda waktu makan atau sholat secara berulang, maka mereka tidak diperbolehkan bermain gawai selama tiga hari sampai seminggu.

Atau di saat kedapatan bertengkar dengan saudara (baik dengan adik ataupun kakak), mereka juga kehilangan haknya bermain gawai, dua sampai tiga hari lamanya.

Nah, boleh jadi hal ini dirasakan sebagai tekanan, bukan?

Namun, terbersit pula dalam hati sebuah pertanyaan mendasar: apakah ini semua disebabkan karena sulung kami terlalu banyak membaca cerita fiksi dan tenggelam di dalam halusinasi?

Bukan depresi, tetapi tumbuh cerdas berpikir

Kira-kira di bulan keempat, saya bertanya lagi kepada si sulung, kisah apakah yang sedang dia baca saat ini?

Dengan lugas si sulung menjawab kalau kali ini dia tertarik pada kisah dengan intrik di dalamnya.

Hmm, karena saya tak punya waktu untuk membaca langsung kisahnya, maka saya meminta sulung kami menuliskan penokohan dan resensi cerita.

Sempat dia menolak dengan alasan sudah pernah membuat resensi cerita untuk mapel bahasa Indonesia di kelas 7.  Kemudian saya meyakinkannya bahwa ini akan menambah kecakapannya atau untuk melatih kemampuannya.

Akhirnya dengan berat hati dia mau menuruti permintaan saya. Tentunya dengan batas waktu, sesudah tugas-tugas sekolahnya rampung dikerjakan.

Berikut saya sertakan foto oret-oretannya:

Foto: dokpri
Foto: dokpri

Foto: dokpri
Foto: dokpri
Setelah membaca tulisan tersebut, saya menyampaikan beberapa hal kepada si sulung.
  • Ketika saya membacanya, saya merasa terbawa ke dalam alur cerita yang disampaikan secara menarik dengan bahasa yang lebih baik ketimbang tulisannya di kelas 6
  • Saya sampaikan bahwa resensi atau ikhtisar adalah ringkasan isi buku yang dapat dibaca pada sampul belakang buku. Jumlahnya hanya beberapa paragraf yang tidak terlalu panjang
  • Dalam ikhtisar, penulis tidak perlu mengungkapkan detil cerita, melainkan hanya sebagai pembangkit rasa penasaran. Menjadi tugas pembacalah untuk menemukan keseluruhan cerita dalam buku/novel

Sampai di sini saya melihat sinar cerah memancar di wajahnya.

Merasa lega

Saya sendiri jauh merasa lega karena sulung kami sama sekali tidak mengarah pada depresi atau semacamnya. Ia hanya terbawa kepada euforia, kebahagiaan dan juga kesedihan akan cerita fiksi yang sedang dibacanya. Meskipun hal yang sama tidak ditunjukkan oleh suami yang juga membaca puluhan bab selama berminggu-minggu.

*

Demikianlah, cara saya memberikan edukasi kepada sulung kami yang tumbuh remaja dan suka membaca cerita fiksi. 

Saya tidak boleh asal melarang apa yang dia sukai, tetapi memantau dan mengarahkan apa yang baik untuknya. Semoga dia bisa bangkit meraih bintangnya.

Selamat hari kebangkitan nasional 

Kota Kayu, 20 Mei 2022

Ayra Amirah untuk Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun