Atau di saat kedapatan bertengkar dengan saudara (baik dengan adik ataupun kakak), mereka juga kehilangan haknya bermain gawai, dua sampai tiga hari lamanya.
Nah, boleh jadi hal ini dirasakan sebagai tekanan, bukan?
Namun, terbersit pula dalam hati sebuah pertanyaan mendasar: apakah ini semua disebabkan karena sulung kami terlalu banyak membaca cerita fiksi dan tenggelam di dalam halusinasi?
Bukan depresi, tetapi tumbuh cerdas berpikir
Kira-kira di bulan keempat, saya bertanya lagi kepada si sulung, kisah apakah yang sedang dia baca saat ini?
Dengan lugas si sulung menjawab kalau kali ini dia tertarik pada kisah dengan intrik di dalamnya.
Hmm, karena saya tak punya waktu untuk membaca langsung kisahnya, maka saya meminta sulung kami menuliskan penokohan dan resensi cerita.
Sempat dia menolak dengan alasan sudah pernah membuat resensi cerita untuk mapel bahasa Indonesia di kelas 7. Â Kemudian saya meyakinkannya bahwa ini akan menambah kecakapannya atau untuk melatih kemampuannya.
Akhirnya dengan berat hati dia mau menuruti permintaan saya. Tentunya dengan batas waktu, sesudah tugas-tugas sekolahnya rampung dikerjakan.
Berikut saya sertakan foto oret-oretannya:
Setelah membaca tulisan tersebut, saya menyampaikan beberapa hal kepada si sulung.
- Ketika saya membacanya, saya merasa terbawa ke dalam alur cerita yang disampaikan secara menarik dengan bahasa yang lebih baik ketimbang tulisannya di kelas 6
- Saya sampaikan bahwa resensi atau ikhtisar adalah ringkasan isi buku yang dapat dibaca pada sampul belakang buku. Jumlahnya hanya beberapa paragraf yang tidak terlalu panjang
- Dalam ikhtisar, penulis tidak perlu mengungkapkan detil cerita, melainkan hanya sebagai pembangkit rasa penasaran. Menjadi tugas pembacalah untuk menemukan keseluruhan cerita dalam buku/novel