Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perahu Tua dan Pemiliknya

20 Februari 2022   07:01 Diperbarui: 20 Februari 2022   07:42 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita sering melihat perahu, saat berjalan-jalan di pesisir pantai. Atau mencium aroma amis kampung nelayan, dimana perahu-perahu ditambatkan, serta jala usang ditinggalkan.
Sebagai pengunjung, kita hanya berdecak kagum, atau bahkan nanar menyaksikan rumah-rumah menyedihkan.

Seperti terbuang, beberapa perahu tua pun dibiarkan membisu di bawah pohon, di atas hamparan pasir. Menatap ombak bermain, beradu kenangan semasa dahulu.

Perahu yang kokoh pernah diciptakan tangan andal. Dilepaskan untuk berburu ikan-ikan, menaklukkan laut, membantu nelayan.

Perahu itu seperti jembatan bagi nelayan, untuk menghidupi keluarganya. Seperti cangkul dan sabit bagi para petani. Seperti ijazah sarjana, bagi pencari kerja di kota. 

Setiap hari, perahu dibawa menjauhi garis pantai. Berbekal semangat dan keberanian. Bagai kuda jantan yang dihela ke medan perang. Atau mesin pesawat yang dihidupkan, lalu lepas landas memasuki angkasa raya.

Tahun demi tahun berlalu. Ada banyak kisah suka maupun duka terjadi.

Perahu selalu setia mengantar nelayan melempar sauh. Menarik jala berisi hasil tangkapan untuk dibawa pulang.

Perahu rela menerima pukulan ombak di lambungnya. Ada kalanya perahu bukan sekedar oleng. Terkadang ia harus menghadapi terpaan hujan dan amukan angin di tengah laut.

Perahu kayu hanya punya dua pilihan: karam ditenggelamkan sang badai; atau selamat sampai ke pulau harapan.

Perahu tak menyerah. Dengan segala keyakinan kepada Sang Kuasa meminta keselamatan, sebab ia hanyalah titik di lautan luas.

Satu dua kali dayung pun patah, kalah oleh dalamnya mimpi. Insiden perahu bocor juga tak mengherankan lagi.

Perahu merasa bahagia dapat menjadi kendaraan nelayan mengarungi bahtera hidupnya. Berjuang bagi banyak orang.

Suatu ketika laut mengamuk. Nelayan terlempar keluar dan diselamatkan kapal yang kemudian melintas. Sementara ia sendirian saja dipermainkan takdirnya. Terseret dan terbawa arus selama berminggu-minggu. Sebagai perahu tak berdayung.

Waktu memang jauh berlalu. Nelayan kini telah renta, dan perahu pun lapuk dimakan usia.

Seperti terbuang, beberapa perahu tua pun dibiarkan membisu di bawah pohon, di atas hamparan pasir. Menatap ombak bermain.

Dulu, anak-anak di kampung nelayan tertawa bahagia. Mereka berlarian di atas hamparan pasir. Saling berlomba menerbangkan nestapa ke langit biru. 

Ibu pernah berkata, "Jadilah anak baik agar disayangi Tuhan. Apa yang kita butuhkan, Tuhan sudah sediakan."

Laut adalah sekolah bagi anak-anak kampung nelayan. Dari sana mereka belajar bahwa hidup adalah menjatuhkan tetes keringat. Untuk makan sesuap nasi, bukan dengan mengambil milik yang lainnya. Tepat seperti yang dilakukan bapak mereka. Menjemput karunia Tuhan dengan berpeluh dan saling membantu.

Ini adalah kebaikan yang paling mudah dilakukan. Tanpa itu bapak mereka pasti sudah terkubur di dasar lautan. Badai dahsyat tak ubahnya malaikat maut yang siap mengantar pada kematian.

Kini, anak-anak itu menjelma dewasa. Waktu berjalan, mengajarkan pahitnya kehidupan nenek moyang mereka. Menjadi pelaut tak seindah kedengarannya.

Seperti yang lainnya, mereka juga tiba di persimpangan jalan. Bak perahu di tengah lautan yang kehilangan rasi bintang, mereka bimbang memilih kiri atau kanan. Seperti perahu tak berdayung yang harus dipermainkan ombak.

Perahu tua tak lagi berguna. Anak muda selalu dipenuhi mimpi-mimpi baru. Banyak nasihat terlupa begitu saja

Diputuskannya meninggalkan ibu bapaknya sendirian. Ia tak rela teronggok dalam rumah-rumah menyedihkan selamanya. 

Ibu pernah bertanya, "Apa yang akan kau dapat di kota sana, Nak?" Tapi tak digubrisnya.

Ternyata kota begitu indah pada malam hari. Penuh titik-titik lampu di atas gedung-gedung. Langit menjadi dekat dari ujungnya.

Ribuan atau jutaan kendaraan lalu-lalang di bawah jembatan. Berbaris dan bergerak pelan mengikuti bentuk kelokan. Mirip ular merayap entah tak henti.

Gadis-gadis kota, mencuci matanya pada siang hari. Kulit putih, gaya modern dan keramahan dari wajah cantik yang belum pernah ditemukannya.

Ada komplek pertokoan dan pusat perbelanjaan yang dipenuhi orang-orang. Bagaimana cara menyusup di tengah-tengah orang yang sibuk? Bahkan ia tak tahu harus membeli dengan apa.

Ada banyak restoran di tiap ruas jalan. Beragam makanan enak yang belum pernah dinikmatinya selama hidup. Pengunjung tampak senang menyantap makanannya. Ah, perutnya mulai keroncongan.

"Ternyata kota ini panas," bisiknya, saat beristirahat di pinggir trotoar. Mulai diperhatikannya hiruk-pikuk pedagang kaki lima. Ada begitu banyak pejalan kaki. Sepertinya tak saling kenal hingga tak ada tegur sapa. Mereka hanya mengurus keperluannya masing-masing.

Tiba-tiba seorang ibu menjerit. Tasnya dijampret dan dibawa kabur lewat kerumunan. Tak lama kemudian orang-orang menyeret sang pelaku. Tubuhnya sudah babak belur tak karuan. Mungkin sudah pula diinjak-injak. Masih ditambah omelan ibu tadi.

Tenggorokannya mulai kering. Botol air minumnya telah kosong. Ia berjalan, mencari orang baik yang mau memberinya minum.

Sudah tiga hari ia tinggal di kota. Tidur di mana saja yang tak diusir petugas. Saat kebelet pipis sudah membuatnya kebingungan. Belum lagi rasa lapar yang belum terisi apa-apa.

"Mau roti?" tiba-tiba keajaiban itu datang. 

Sesosok laki-laki berwajah bersih duduk di sebelahnya. Sepertinya mereka seumuran. Keduanya lalu menikmati roti dan teh kotak sambil mengobrol akrab.

Dengan jujur ia katakan siapa dirinya dan apa niatnya datang ke kota. 

Lelaki berwajah bersih mendengarkan seluruh ceritanya. Lalu membantunya pulang ke rumah yang dicintainya. 

Ia mulai mencium aroma amis kampung nelayan. Tak seharusnya ia tinggalkan tempatnya dulu bermain hingga tumbuh dewasa.

"Ibuu... bapaaak... aku pulaaang!" ia memekik. Rindunya merupa gunung.

Dilaluinya perahu-perahu ditambatkan, serta jala usang ditinggalkan. 

Beberapa perahu tua pun dibiarkan membisu di bawah pohon, di atas hamparan pasir. Menatap ombak bermain, beradu kenangan semasa dahulu.

Matanya membelalak. Para warga memenuhi muka rumah. Wajah kelabu dan bendera hijau berkibar di batang pohon.

Ia menghambur masuk, mendapati bapak bisu terbujur ditemani tangis ibu. Pemilik perahu telah menghadap Sang Kuasa.

SELESAI

Ayra Amirah untuk Kompasiana

Kota Tepian, 20 Februari 2022

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun