Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki yang Berbincang Tengah Malam

21 Januari 2022   15:29 Diperbarui: 21 Januari 2022   15:37 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat itu, langit memang gelap. Tak satu pun bintang yang mengintip. Apalagi bulan, sedikitpun tak terlihat.

Dari pintu kecil pagar seng, aku masuk ke halaman gedung yang sedang dibangun. Aku masuk dengan cara biasa saja. Tidak menyelinap. Ingat ya!

Aku masuk ke pos jaga yang kosong, dua langkah saja dari pintu kecil. Ruangan gelap, hanya ada dua helm safety dan kursi plastik. Aku duduk di situ, bersembunyi dalam gelap.

Gedung itu baru empat bulan dikerjakan. Masih tampak kasar dan belum apa-apa. Sementara deadline diperpanjang satu bulan lagi. 

Aku mendengar semua ini, saat konsultan dan mandor sering bertemu dan berdiskusi. Mulanya aku keluar masuk saat para pekerja sudah sepi dan tertidur di barak samping. Tapi setelah "kejadian itu", aku bisa leluasa berkeliaran kapan saja.

*

"Hei, siapa kamu?" hardik Tejo, security bertubuh tegap.

"Jo? Gelandangan itu datang lagi?" tanya Pak Juni yang kebetulan belum pulang. Meski Pak Juni memegang lima proyek sekaligus, bisa dibilang waktunya lebih banyak untuk mengontrol para pekerja di sini.

Aku masih mengintip dari balik tumpukan kayu bekas pakai. Berharap Tejo lebih tertarik memanaskan kopi di teko listrik, ketimbang mengusut keberadaanku.

"Heran Bos, cuma gelandangan itu yang sering masuk ke sini. Saya ngarepnya bidadari cantik yang datang, Bos," seloroh security itu sambil ngeloyor pergi.

"Hus! Ingat anak istrimu di kampung, Jo!"

Dan sebenarnya, ucapan Tejo hanya sebatas di mulut saja. Aku bisa pastikan, security itu tak pernah nyeleneh atau berjalan serong. Justru ada pekerja lain yang pantas diinterogasi polisi.

*

Kedatanganku ke gedung ini, memang menunggu situasi sepi dan aman. Dua bulan terakhir, aku harus lebih sabar menunggu, sebab tiga puluh karyawan diperintahkan kerja lembur. Mungkin untuk mengejar target deadline. Pak Juni pasti tidak mau kena denda. Bisa batal niat istrinya membeli mobil.

Setidaknya perbincangan ini yang kutangkap, saat Pak Udin dan yang lainnya menemani Pak Juni mengisi amplop gaji. Gila! Lima puluh juta per dua minggu yang ditransfer lima mesin ATM.

"Bagusnya sih mobil pick up untuk di proyek, Pak. Kalau mobil pribadi, cuma menang gengsi. Ngga bisa bantu carikan kita uang!" usul Pak Udin sambil memakai jaket coklatnya. Sudah dapat amplop, siap pulang sebelum hujan di luar tumpah dan banjir menggenangi jalan-jalan.

Aku berjongkok, sambil sesekali mengintai dari sela sisa baja ringan. Saat mereka bubar, biasanya aku bisa menemukan sisa gorengan, biskuit, atau nasi bungkus yang digantung di dinding. Lumayan buat mengganjal perut.

*

Sudah beberapa hari aku tak melihat Pak Udin. Ternyata sebelum tahun baru, ia sudah diwakilkan menghandle proyek Pak Juni di bukit Alaya. Setahuku itu perumahan elit kelas atas. Gembel jalanan sepertiku jangan harap bisa lewat di depan pos jaga. Aku pernah dua kali diusir!

Nahas, malam itu gedung yang kukira sepi, ternyata masih didatangi seorang pekerja yang rokoknya tertinggal. 

Aku tidak kenal siapa namanya. Ia bertubuh kurus penuh tato. Sepertinya mantan tahanan penjara. Aku seram melihatnya, tapi ia justru senang menangkap basah gembel yang sedang celingukan.

Pekerja itu terus mendekat. Seperti setan yang sedang bernafsu, matanya menyala dan nafasnya memburu bagai serigala lapar. Giginya menyembul, tertawa penuh kemenangan. Apa yang dia harapkan dari perempuan bau sepertiku?

Aku benar-benar seperti terkurung di lantai paling atas, jauh dari arah tangga turun. Kiri dan kanan hanya dinding semen, serta jendela telanjang.

Pilihan terjun bebas dari atas gedung, aku yakin bisa menghabisi tubuh kecil sepertiku. Ah!

*

Saat itu, langit memang gelap. Tak satu pun bintang yang mengintip. Apalagi bulan, sedikitpun tak terlihat.

Dari pintu kecil pagar seng, aku masuk ke halaman gedung yang sedang dibangun.

Aku masuk ke pos jaga yang kosong, dua langkah saja dari pintu kecil. Ruangan gelap, hanya ada dua helm safety dan kursi plastik. Aku duduk di situ, bersembunyi dalam gelap.

Di halaman gedung, dua lelaki sedang berbincang. Mereka tidak mempedulikan gerimis kecil yang mulai turun. Tidak terganggu oleh nyamuk rawa yang terbang mencari mangsa.

Pak Udin dan Tejo, pasti sedang membicarakan proyek yang mandeg. Para pekerja menolak kerja lembur, terganggu suara tangis perempuan di sudut-sudut tertentu. Perempuan yang takut dilecehkan dan memilih lompat dari salah satu jendela.

SELESAI

Cerpen ini fiktif belaka, terinspirasi oleh gedung yang saya foto di tengah malam.

Ayra Amirah untuk Kompasiana

Kota Tepian, 21 Januari 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun