Pekerja itu terus mendekat. Seperti setan yang sedang bernafsu, matanya menyala dan nafasnya memburu bagai serigala lapar. Giginya menyembul, tertawa penuh kemenangan. Apa yang dia harapkan dari perempuan bau sepertiku?
Aku benar-benar seperti terkurung di lantai paling atas, jauh dari arah tangga turun. Kiri dan kanan hanya dinding semen, serta jendela telanjang.
Pilihan terjun bebas dari atas gedung, aku yakin bisa menghabisi tubuh kecil sepertiku. Ah!
*
Saat itu, langit memang gelap. Tak satu pun bintang yang mengintip. Apalagi bulan, sedikitpun tak terlihat.
Dari pintu kecil pagar seng, aku masuk ke halaman gedung yang sedang dibangun.
Aku masuk ke pos jaga yang kosong, dua langkah saja dari pintu kecil. Ruangan gelap, hanya ada dua helm safety dan kursi plastik. Aku duduk di situ, bersembunyi dalam gelap.
Di halaman gedung, dua lelaki sedang berbincang. Mereka tidak mempedulikan gerimis kecil yang mulai turun. Tidak terganggu oleh nyamuk rawa yang terbang mencari mangsa.
Pak Udin dan Tejo, pasti sedang membicarakan proyek yang mandeg. Para pekerja menolak kerja lembur, terganggu suara tangis perempuan di sudut-sudut tertentu. Perempuan yang takut dilecehkan dan memilih lompat dari salah satu jendela.
SELESAI
Cerpen ini fiktif belaka, terinspirasi oleh gedung yang saya foto di tengah malam.