"Hus! Ingat anak istrimu di kampung, Jo!"
Dan sebenarnya, ucapan Tejo hanya sebatas di mulut saja. Aku bisa pastikan, security itu tak pernah nyeleneh atau berjalan serong. Justru ada pekerja lain yang pantas diinterogasi polisi.
*
Kedatanganku ke gedung ini, memang menunggu situasi sepi dan aman. Dua bulan terakhir, aku harus lebih sabar menunggu, sebab tiga puluh karyawan diperintahkan kerja lembur. Mungkin untuk mengejar target deadline. Pak Juni pasti tidak mau kena denda. Bisa batal niat istrinya membeli mobil.
Setidaknya perbincangan ini yang kutangkap, saat Pak Udin dan yang lainnya menemani Pak Juni mengisi amplop gaji. Gila! Lima puluh juta per dua minggu yang ditransfer lima mesin ATM.
"Bagusnya sih mobil pick up untuk di proyek, Pak. Kalau mobil pribadi, cuma menang gengsi. Ngga bisa bantu carikan kita uang!" usul Pak Udin sambil memakai jaket coklatnya. Sudah dapat amplop, siap pulang sebelum hujan di luar tumpah dan banjir menggenangi jalan-jalan.
Aku berjongkok, sambil sesekali mengintai dari sela sisa baja ringan. Saat mereka bubar, biasanya aku bisa menemukan sisa gorengan, biskuit, atau nasi bungkus yang digantung di dinding. Lumayan buat mengganjal perut.
*
Sudah beberapa hari aku tak melihat Pak Udin. Ternyata sebelum tahun baru, ia sudah diwakilkan menghandle proyek Pak Juni di bukit Alaya. Setahuku itu perumahan elit kelas atas. Gembel jalanan sepertiku jangan harap bisa lewat di depan pos jaga. Aku pernah dua kali diusir!
Nahas, malam itu gedung yang kukira sepi, ternyata masih didatangi seorang pekerja yang rokoknya tertinggal.Â
Aku tidak kenal siapa namanya. Ia bertubuh kurus penuh tato. Sepertinya mantan tahanan penjara. Aku seram melihatnya, tapi ia justru senang menangkap basah gembel yang sedang celingukan.