Akhir-akhir ini aku boleh mengikuti emak. Biasanya masih subuh emak sudah berangkat. Di rumah sakit, emak bertugas memasak makanan untuk pasien. Makan pagi, siang, malam ditambah teh manis atau susu, pagi dan sore. Tapi emak khusus meminta shift pagi, pulang jam satu siang.
Kakakku, Badrun, sudah tidak bisa menjagaku di rumah. Bos pelelangan ikan memanggil Kak Badrun untuk membantu mengurus ikan yang datang. Suasana di sana ramai belakangan ini. Begitu yang kudengar.
Maka mau tak mau mimpi-mimpi indahku buyar oleh suara emak. Tentang asyiknya bermain di kolam sambil mencari berudu, atau tentang almarhum Abah yang menggendongku sambil menarik benang layang-layang. Kami harus bersiap-siap.
Aku dan emak menumpang angkot dengan uang lima ribu rupiah saat hari masih agak gelap. Sampai di rumah sakit, aku dan emak berpisah. Anak kecil tidak boleh main di dapur. Aku berkeliling mencari permainan, kalau mungkin seorang teman. Tapi tak pernah ada teman di sini.
Kadang aku lanjut tidur di bangku taman. Sampai matahari membuat pipiku panas, kira-kira jam sepuluh waktu itu. Kulihat orang-orang datang membezuk. Mereka melewati lorong panjang di belakangku.
Suatu hari aku mengikuti rombongan itu. Iseng berpura-pura menjadi keluarga pasien. Mungkin mereka lebih terhibur jika banyak yang mengunjungi.Â
Persis di perempatan, orang-orang itu berpencar. Mereka menemui pasien yang berbeda-beda. Aku memilih mengikuti wanita berhijab biru muda.
Di ruang Angsoka lantai dua, wanita itu berbelok ke kiri, melewati bagian informasi pasien. Di pintu bertulis 7B, wanita itu mengucap salam sambil melepaskan alas kaki.
Ruangan itu besar. Aku menghitung ada enam tempat tidur yang jaraknya cukup berjauhan. Korden pembatas berwarna hijau, sebagian dibiarkan terbuka. Aku memperhatikan mereka satu per satu dari tempatku berdiri.
"Siapa namamu, Nak?" tiba-tiba seorang nenek menanyaiku. Dia pasti ibu dari wanita yang kuikuti.Â
Aku memperhatikan wajahnya. Kelihatan pucat dan lemah. Di punggung tangannya terpasang selang infus. Ada juga selang berwarna merah. Pasien itu pasti sakit parah.
"Nama saya Goni, Nek," kataku ragu. Apakah aku harus pergi? Jangan-jangan aku hanya mengganggu nenek itu.
"Goni, berapa umurmu?" tanya nenek itu lagi. Bibirnya membentuk senyuman.Â
"Tujuh tahun, Nek." Aku mendekat karena dia mengulurkan tangan.Â
"Mana orang tuamu?"
"Emak bekerja di dapur, Nek, masak untuk pasien."
Sejak pertemuan itu, aku sering menemani Nenek Sri. Kata nenek, anaknya baru bisa datang kalau sudah pulang mengajar. Anak nenek Sri cuma satu, suami nenek sudah meninggal.
*
Sudah dua hari ini, kondisi nenek Sri melemah. Sorot matanya layu, tidak bicara apa-apa saat kutemani.
Di lorong seberang taman, kulihat Mbak Nur mendorong rak besi. Ada tiga susun, semuanya diisi rantang pasien dan cangkir teh atau susu. Kadang-kadang terdengar bunyinya saat turun tangga miring. Itu artinya emak sudah selesai masak dan boleh ditemui.
Emak setuju membelikan kertas origami di minimart rumah sakit. Aku disuruh menunggu di taman, tak boleh ikut emak. Uang emak hanya tersisa untuk ongkos pulang. Aku mengerti.
Akhirnya emak datang dengan kertas origami dan peralatan yang kubutuhkan. Gunting, lem dan kapas emak minta dari perawat jaga.Â
"Terima kasih, Mak. Maaf Goni bikin susah Emak..." emak hanya mengelus kepalaku.
Aku mulai mengerjakan apa yang kubayangkan malam tadi sebelum tidur. Sebuah layang-layang warna-warni yang terbang di antara awan harapan. Semoga Nenek Sri senang melihatnya. Ini untuk menyemangati nenek Sri.
Sebelum kami pulang, hadiah untuk nenek Sri sudah siap. Aku bergegas menaiki tangga, masuk pintu ruang Angsoka, melewati bagian informasi, sambil berlari kecil. Aku tahu itu dilarang, tapi kali ini saja, aku takut nenek Sri keburu tidur.
Ruang 7B penuh petugas. Ada apa ini? Sepertinya terjadi sesuatu pada nenek Sri. Apa nenek Sri meninggal?
Aku terduduk di lantai, menangis. Seharusnya aku bisa lebih cepat.
Kuusap air mataku berkali-kali. Kulihat anak nenek Sri juga menangis, memeluk nenek Sri yang ditutup kain putih.
Saat petugas meninggalkan ruangan, aku segera bangkit dan memeluk kaki nenek Sri.
"Nek, maafkan Goni, Nek. Goni terlambat..."
Wanita itu bergerak, menatapku, dengan raut terluka.
"Goni?"
"Ini untuk Nenek Sri. Goni ingin memberi ini, tapi Nenek Sri sudah..."
Wanita itu menatapi layang-layang buatanku. Menjadi semakin sedih, dan suaranya memberat.
"Tidak apa-apa Goni. Terima kasih yaa, Nenek pasti senang, Nenek pasti tahu..." kata wanita itu. Air matanya jatuh, seperti hujan.
SELESAI
Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana
Kota Tepian, 12 Januari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H