Aku memperhatikan wajahnya. Kelihatan pucat dan lemah. Di punggung tangannya terpasang selang infus. Ada juga selang berwarna merah. Pasien itu pasti sakit parah.
"Nama saya Goni, Nek," kataku ragu. Apakah aku harus pergi? Jangan-jangan aku hanya mengganggu nenek itu.
"Goni, berapa umurmu?" tanya nenek itu lagi. Bibirnya membentuk senyuman.Â
"Tujuh tahun, Nek." Aku mendekat karena dia mengulurkan tangan.Â
"Mana orang tuamu?"
"Emak bekerja di dapur, Nek, masak untuk pasien."
Sejak pertemuan itu, aku sering menemani Nenek Sri. Kata nenek, anaknya baru bisa datang kalau sudah pulang mengajar. Anak nenek Sri cuma satu, suami nenek sudah meninggal.
*
Sudah dua hari ini, kondisi nenek Sri melemah. Sorot matanya layu, tidak bicara apa-apa saat kutemani.
Di lorong seberang taman, kulihat Mbak Nur mendorong rak besi. Ada tiga susun, semuanya diisi rantang pasien dan cangkir teh atau susu. Kadang-kadang terdengar bunyinya saat turun tangga miring. Itu artinya emak sudah selesai masak dan boleh ditemui.
Emak setuju membelikan kertas origami di minimart rumah sakit. Aku disuruh menunggu di taman, tak boleh ikut emak. Uang emak hanya tersisa untuk ongkos pulang. Aku mengerti.