Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dan Salju pun Turun Perlahan

21 Desember 2021   06:32 Diperbarui: 21 Desember 2021   14:47 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Maafkan aku, Sayang. Aku akan pulang kalau ibu sembuh, yaa..."

Untuk ke sekian kali jawaban ini terdengar dari handsfree headset di telingaku. Seraut wajah membayang di pelupuk mata. Aku sangat mencintainya.

Sudah hampir setahun, Sukma meninggalkan rumah ini. Tak lama setelah ia menemukan emailku untuk seorang wanita.

"Kau seperti anak kecil yang tidak diizinkan makan permen. Lalu kau mengambilnya diam-diam. Berjongkok di bawah meja untuk..."

"Sukma sayang, tolong percaya ya. Aku tidak ada hubungan lebih dengan Jane."

"Siapa bilang aku marah? Aku hanya heran, ngapain aja kalian di kantor, sampai harus saling berkirim email..." 

Ah, memang tidak enak, mendengar sindiran dari istri sendiri. Tanpa kuduga, ini akan berakhir dengan LDR yang menyakitkan.

Sukma tak mau lagi berbicara apapun denganku. Ia menjadi sulit ditemui, dan lebih banyak mengunci dirinya di kamar.

Aku gagal meluluhkan hatinya. Ia tak mau mengangkat teleponku, dan hanya membalas chatku dua kali. 

Sampai akhirnya Sukma berpamitan padaku. Sebuah koper besar telah siap di sampingnya. 

Hari-hari selanjutnya aku benar-benar kesepian. Rumah ini kehilangan sosok enerjik yang cekatan mengurus semuanya.

Pernah suatu kali, aku menjahili dengan menolak rencananya mempercantik rumah baru kami.

"Sayang, aku kurang suka bunga-bunga dibawa ke atas balkon. Kenapa tidak diletakkan di taman kecil saja?" 

Saat itu juga Sukma melotot. "Seharusnya kau tak ikut campur. Seorang istri lebih tahu bagaimana menciptakan suasana bak istana di rumahnya sendiri!" katanya sewot.

Kalau ingat kejadian itu, antara rasa menyesal dan puas melihat Sukma sebal begitu. Entah kenapa aku senang menggodanya. Melihatnya mengambil hati atas semua ucapanku.

Sukma lalu mencari akal, yaitu dengan membuat tali derek. Dengan begitu semua barang-barang yang dibutuhkannya, dapat ditransfer ke atas dengan mudah. 

Sudah kubilang Sukma sangat enerjik, kan? Dan apa yang diinginkannya, tak dapat dihentikan sama sekali.

Untuk istri secantik dirinya, serta pribadi yang menyenangkan seperti itu, aku tak punya alasan untuk melirik wanita lain.

Jane mungkin menaruh hati padaku. Dan sebenarnya aku belum pernah sekali pun makan siang bersamanya di kantor. Ide untuk berkomunikasi via email, sebenarnya baru terjadi lima atau tujuh kali. Dimulai dari obrolan biasa yang terdengar kaku, sampai akhirnya aku merespon curhatannya. 

"Sayang, jadi menurutmu ini sudah menjurus pada pengkhianatan?" kataku membela diri. 

Kulihat Sukma tersenyum tipis. Sepasang matanya terus menatap butiran salju di luar bandara. 

*

"Hai Sayang..." sapanya dengan senyum ceria saat kami melakukan VC.

"Bagaimana Tübingen, masih tetap hangat?"

"Tidak, Sayang," jawabku lesu. 

"Aku tahu, salju sudah beberapa lama menimbulkan pemandangan cantik di sana, kan?" tanya Sukma, masih terdengar nyinyir.

Selain melarangku datang ke rumah orang tuanya, Sukma juga hanya bersedia dihubungi di saat weekend. Sepertinya ia ingin tahu, apakah di hari libur kantor aku akan bersenang-senang dengan Jane.

Sebagai suami, perlakuan seperti ini membuatku merasa sangat terhukum. Walau sebenarnya tak ada hal apapun yang sudah kulakukan untuk menyakiti hatinya. Tapi orang yang cemburu, tak akan mempercayai perkataan dari pasangannya, bukan?

"Aku ada kabar baik. Apa kau mau dengar?" 

Ah, aku sampai lupa. Seraut wajah itu masih di sana menatapku. "Tentu," sambutku. 

"Ibu sudah sembuh, seperti sedia kala..."

"Oo... syukurlah. Aku senang mendengarnya, Sayang."

"Dan besok aku akan bertolak dari Jakarta dengan penerbangan pertama!"

Aku terlonjak. "Itu artinya, kita akan bersama lagi??"

"Aku akan menjemputmu, Sayang."

"Ya, setelah kujalani karantina omicron yaa..."

"Baiklah, Sayang. Jaga dirimu ya!"

Sukma melambaikan tangan, lalu mematikan video. Wajahnya hilang dari layar di hadapanku.

Di kejauhan, udara bertekanan tinggi, terus membawa angin dingin kutub utara. Bertabrakan dengan dua area udara bertekanan rendah bernama Tristan dan Reinhard. 

Udara laut yang hangat, mengangkut lebih banyak air. Di tempat yang cukup dingin dan tinggi seperti Tümbingen. Kelembapan ini kemudian berubah menjadi serpihan padat.

Dan salju pun turun perlahan, menimpa daun-daun mawar berbunga merah.  

SELESAI

Cerpen ini adalah imajinasi belaka. 

Kota Tepian, 21 Desember 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun