Hari-hari selanjutnya aku benar-benar kesepian. Rumah ini kehilangan sosok enerjik yang cekatan mengurus semuanya.
Pernah suatu kali, aku menjahili dengan menolak rencananya mempercantik rumah baru kami.
"Sayang, aku kurang suka bunga-bunga dibawa ke atas balkon. Kenapa tidak diletakkan di taman kecil saja?"Â
Saat itu juga Sukma melotot. "Seharusnya kau tak ikut campur. Seorang istri lebih tahu bagaimana menciptakan suasana bak istana di rumahnya sendiri!" katanya sewot.
Kalau ingat kejadian itu, antara rasa menyesal dan puas melihat Sukma sebal begitu. Entah kenapa aku senang menggodanya. Melihatnya mengambil hati atas semua ucapanku.
Sukma lalu mencari akal, yaitu dengan membuat tali derek. Dengan begitu semua barang-barang yang dibutuhkannya, dapat ditransfer ke atas dengan mudah.Â
Sudah kubilang Sukma sangat enerjik, kan? Dan apa yang diinginkannya, tak dapat dihentikan sama sekali.
Untuk istri secantik dirinya, serta pribadi yang menyenangkan seperti itu, aku tak punya alasan untuk melirik wanita lain.
Jane mungkin menaruh hati padaku. Dan sebenarnya aku belum pernah sekali pun makan siang bersamanya di kantor. Ide untuk berkomunikasi via email, sebenarnya baru terjadi lima atau tujuh kali. Dimulai dari obrolan biasa yang terdengar kaku, sampai akhirnya aku merespon curhatannya.Â
"Sayang, jadi menurutmu ini sudah menjurus pada pengkhianatan?" kataku membela diri.Â
Kulihat Sukma tersenyum tipis. Sepasang matanya terus menatap butiran salju di luar bandara.Â