Tidak ada yang menyangka, di rumah besar itu tersimpan kejadian-kejadian tak masuk akal. Rumah yang berdiri sendirian di puncak bukit Lonceng, menjadi saksi kekerdilan jiwa seorang suami kepada istrinya.
Rose bukanlah wanita yang terlalu tabah. Berulang kali air mata membanjiri wajahnya yang cantik. Relung hatinya begitu nyeri. Namun ia hanya bisa berharap semua ini segera berakhir.
Di desa itu, nama tuan Peter tidak benar-benar dikenal oleh semua orang. Namun keanggunan Rose terdengar ke seluruh penjuru desa. Maklum, ia adalah mantan model sewaktu di kota. Setelah menikah ia harus mengikuti suaminya mengurus peternakan.
Boleh dibilang, semua berawal dari seorang tukang ramal di ujung kota. Diam-diam, tuan Peter pergi menemui wanita penjual ilusi dan mempercayainya bulat-bulat.
Waktu tujuh tahun memang tidak sebentar. Tuan Peter menjadi tidak sabar ingin segera dikaruniai keturunan. Jika Rose melahirkan bayi perempuan, maka ia akan secantik Rose yang berkulit putih dan bermata biru jernih. Bila bayi itu lelaki maka ia akan mewarisi kecerdasan dan juga keberanian seperti dirinya.Â
Begitulah. Dan tanpa berkedip sedikit pun, diperhatikannya sebentuk kartu tarot di tangan wanita berkulit coklat. Wajahnya serius, bola mata membelalak lebar, lipstik glossy membentuk senyum misterius.
"Istrimu memiliki kecantikan seperti rembulan, bukan?"
Tuan Peter cepat mengangguk. Hatinya mulai tak karuan.
"Jika kau membiarkannya bebas berkeliaran, maka ia akan dimiliki laki-laki lain. Sementara benihmu hampa, kosong!"
Bagai disambar petir, apa yang didengarnya nyaris membuatnya kehilangan nyawa. Bukan, tetapi harga diri. Tuan Peter sama sekali tak mau ini terjadi.
Hampir lima tahun sudah, dibiarkannya wanita yang sangat dicintainya itu meringkuk dalam kamar kosong. Ia hanya mengeluarkannya, bila benar-benar perlu. Makan malam berdua, atau sekali-sekali mengajaknya tidur di kamarnya.
Rose bergolak, berteriak histeris dan terus menangis pada awalnya. Tapi ini sungguh tak mengubah keputusan tuan Peter.
Kekejamannya bukan hanya menghilangkan jadwal berkunjung ke peternakan suaminya, bahkan menginjak pekarangan mereka pun tidak.
Rose kehilangan kebahagiaan. Ia tak pernah merasakan sinar matahari pagi, embusan angin senja, atau gemintang yang bertaburan di waktu malam.
Tak pernah dilihatnya sosok manusia, kecuali bibi Em yang membawakan makanan. Itu pun setelah suaminya pulang dan membuka pintu yang terkunci.
Terlalu banyak permohonan yang dia lakukan agar dirinya dibebaskan. Bahkan berlutut pun tak menggubris tuan Peter sama sekali. Bayangan istrinya akan jatuh ke pelukan laki-laki lain, jauh meneguhkan tekadnya.
Hari demi hari berlalu. Kulit Rose yang putih sekarang kusam menua. Rambutnya tak pernah disisir. Mandi pun enggan.
Sepasang mata biru jernih itu, telah lama memancarkan rasa putus asa. Aliran darahnya membeku, tanpa sedikit pun digerakkan layaknya makhluk hidup. Entah menunggu mati, atau menunggu waktu yang tepat.
Beberapa orang yang mendatangi bukit Lonceng, terpana melihat bangunan tunggal di bagian puncak. Sebentuk menara kecil yang sebenarnya sebuah kamar, jauh lebih menarik perhatian.
Ya, Rose seringkali menatap dari balik jendela yang buram. Seakan ia ingin pertolongan datang dan membebaskannya dari kutukan.
Sayang, bukit lonceng hanya hamparan ilalang kuning yang tak menarik orang-orang. Tak seorang pun bisa melepaskannya dari rasa terpasung.
"Sebegitukah cinta?"Â Rose membatin, dan menyesali pernikahannya dengan tuan Peter. Ia merasa dibunuh oleh kecemburuan sang suami.
Seperti malam ini, Rose kembali meringkuk di sudut, menatap sebatang lilin di jendela.
Jangankan seorang teman mengobrol, lampu kamar pun tak diizinkan menemani malam-malamnya yang panjang. Hanya selembar kain selimut usang, memeluk tubuhnya yang kian kurus tak terurus.
"Sebenarnya apa yang Tuan inginkan dariku?" Â lirihnya kecewa.
Sesaat ia bangkit mendekati jendela buram. Tak ada bintang di luar sana. Suasana desa begitu lengang.
Mungkin malam ini waktu yang tepat, pikirnya. Rose ingin mendatangi pintu kematiannya hingga berita itu muncul di koran. Ya.
Rose membawa ujung selimut ke arah nyala lilin. Jika tak sebilah pisau dapat membantunya mengakhiri penderitaannya, mungkin kedua benda ini bisa, pikirnya.
Dan benar saja. Ruang kamarnya seketika menyala. Terang-benderang terlihat dari segala sudut desa.Â
SELESAI
Cerpen ini terinspirasi dari rumah dengan bentuk menara di atas bukit, dekat tempat tinggal penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H