Rose bergolak, berteriak histeris dan terus menangis pada awalnya. Tapi ini sungguh tak mengubah keputusan tuan Peter.
Kekejamannya bukan hanya menghilangkan jadwal berkunjung ke peternakan suaminya, bahkan menginjak pekarangan mereka pun tidak.
Rose kehilangan kebahagiaan. Ia tak pernah merasakan sinar matahari pagi, embusan angin senja, atau gemintang yang bertaburan di waktu malam.
Tak pernah dilihatnya sosok manusia, kecuali bibi Em yang membawakan makanan. Itu pun setelah suaminya pulang dan membuka pintu yang terkunci.
Terlalu banyak permohonan yang dia lakukan agar dirinya dibebaskan. Bahkan berlutut pun tak menggubris tuan Peter sama sekali. Bayangan istrinya akan jatuh ke pelukan laki-laki lain, jauh meneguhkan tekadnya.
Hari demi hari berlalu. Kulit Rose yang putih sekarang kusam menua. Rambutnya tak pernah disisir. Mandi pun enggan.
Sepasang mata biru jernih itu, telah lama memancarkan rasa putus asa. Aliran darahnya membeku, tanpa sedikit pun digerakkan layaknya makhluk hidup. Entah menunggu mati, atau menunggu waktu yang tepat.
Beberapa orang yang mendatangi bukit Lonceng, terpana melihat bangunan tunggal di bagian puncak. Sebentuk menara kecil yang sebenarnya sebuah kamar, jauh lebih menarik perhatian.
Ya, Rose seringkali menatap dari balik jendela yang buram. Seakan ia ingin pertolongan datang dan membebaskannya dari kutukan.
Sayang, bukit lonceng hanya hamparan ilalang kuning yang tak menarik orang-orang. Tak seorang pun bisa melepaskannya dari rasa terpasung.
"Sebegitukah cinta?"Â Rose membatin, dan menyesali pernikahannya dengan tuan Peter. Ia merasa dibunuh oleh kecemburuan sang suami.