Wanita itu teramat menggairahkan baginya, melebihi penari perut bertubuh indah manapun. Apalagi hanya Ning.
Ketika ia sadar, pagi sudah menyelinap lewat jendela. Secangkir kopi tersaji, lengkap dengan rollcake pandan favoritnya.Â
Ning memang paling tahu kesukaannya. Wanita itu tak pernah meleset tentang kapan rasa kantuknya mendekati finish. Saat Prakasa siap membuka mata, Ning sudah menyimpan sarapan di atas meja kecil di sisi tempat tidur.
Bau kopi yang nikmat, hitam dan manis, meluncur di tenggorokannya yang kering. Istrinya tak pernah salah dalam meracik kopi. Selalu pas takaran, dan tak pernah cacat sekali pun.
Dua hal ini, sukses menerbitkan air mata Denik. Tangisnya mengalir bak sungai Tara yang jernih, diikuti suara isak yang membuat goyah.
"Kapan Mas bisa menikahiku?"wanita itu menyandarkan kepalanya di dada Prakasa. Tercium rambutnya yang wangi. Membelai-belai bulu hidung yang kemudian bersorak, mengaktifkan perintah melalui saraf di otak, agar tangan bergegas mendekap rapat wanita yang sedih luar biasa.
"Secepatnya, sayang..." janjinya sekali lagi.
*
Di ruang kerja seluas 18 meter persegi, AC 1 PK terasa amat menyejukkan sebenarnya. Tapi Denik tetap saja merasa gerah.
Baru saja dilihatnya dalam postingan akun instagram milik Ning, Mas Prakasa dan istrinya mengapit serta mencium putri mereka saat perayaan ulang tahunnya kemarin. Untung saja meeting mega proyek menyelamatkan dirinya di depan pria itu.Â
Denik merasa tak sudi, Â menginjakkan kaki di tengah keluarga rivalnya. Ia benci Ning, sangat benci!