Saya sedang memesan gado-gado di warung pinggir jalan. Sesuai urutan, saya mengantri dua pembeli sebelumnya.Â
Saya perhatikan gerakan ibu penjual lumayan lamban, dan membuat saya gelisah jadinya. Maklum ia baru berdagang di sini.
Tibalah giliran saya dibuatkan. Saya memesan tiga cabai, untuk dua bungkus. Belakangan saya baru menyadari, untuk dua bungkus gado-gado seharusnya memakai enam cabai. Barulah pedasnya pas.
Ibu bertubuh gemuk ini, tidak saya ketahui namanya. Atau tidak saya temukan spanduk banner di sekitar meja jualannya.
Tak ingin saling diam, saya pun memulai obrolan.Â
Mulanya, saya menyinggung singkong yang biasanya terpajang memenuhi meja di sebelahnya. Dua setengah kwintal singkong dengan kualitas sangat baik, biasanya didatangkan sang suami, langsung dari petani di kampung.Â
"Lagi kosong, Mbak. Soalnya sekarang musim hujan, susah mencabut pohon singkong..." jelas ibu penjual gado-gado.
Ya, saya tidak menampik. Samarinda dan sekitarnya akhir-akhir ini memang sering dilanda hujan. Beberapa wilayah bahkan mengalami kebanjiran.
"Kalau di Jawa justru kemarau, Mbak," katanya lagi. Saya hanya mengangguk.
"Harga-harga sekarang pada naik," katanya mulai curhat, lalu mengambil sepotong tempe.
"Tempe ini juga, harganya naik. Tahu apalagi, naik sejak bulan puasa kemarin. Soalnya kedelei naik juga, Mbak..."
"Lontong sebanyak ini, habis dalam sehari, Bu?" tanya saya penasaran.
Beberapa waktu lalu, saya sempat memperhatikan isi meja jualannya tak sebanyak sekarang.Â
"Alhamdulillah, Mbak. Memang orang dagang itu harus sabar. Sekarang sudah banyak langganan."
Aku mengangguk lagi. Hidup ini memang harus dijalani dengan penuh kesabaran. Dan biasanya buahnya pun akan manis.
"Sebelum jual gado-gado di sini, saya bertani cabai, Mbak..."
"Oya?"
"Iya, tapi gagal panen. Bertani itu modalnya beaar, mbak. Belum bibitnya, belum racun hama, belum lain-lain."
Wow, saya tidak menyangka.
"Sekarang ini di Jawa, harga cabai anjlok, ya Bu?" kata saya.
"Iya Mbak. Udah ngga dipetik lagi, langsung digusur, diganti tanaman lain lagi. Petani benar-benar kecewa, Mbak. Bukannya untung, malah buntung!"
"Tapi ya jangan dibuang di saluran air," sahut saya.
Dari banyak berita, wortel dibuang begitu saja. Diikuti peternak ayam yang tega melemparkan telur-telur begitu rupa.
"Yah namanya kecewa, Mbak..." katanya sambil menyerahkan dua bungkus gado-gado yang selesai dibuat.
Dalam perjalanan pulang, entah mengapa saya terus berdebat dengan diri sendiri.
Sedikit adalah ujian
Ya, memang manusia selalu memikirkan harapan yang indah. Bahkan membuang jauh-jauh bayangan kelam yang tidak disukainya.Â
Bila ia pergi melaut, manusia ingin pulang dengan hasil tangkapan melimpah. Bila berdagang, manusia ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Bila melakukan lelang proyek, manusia ingin bisa memenangkan tender.Â
Manusia tidak siap rugi. Tidak siap kalah dalam kompetisi. Padahal dunia ini ada siang ada malam. Ada tawa ada tangis. Ada untung ada rugi.
Memaknai rasa syukur, bukan hanya ketika diberikan rezeki berlimpah, tubuh yang sehat, cita-cita yang tercapai.
Dalam kisah Nabi Ayyub alahis salam, ia menderita penyakit menular sehingga ditinggalkan kaumnya. Pada sekujur tubuhnya, kulit nabi Ayyub membusuk, berulat dan mengeluarkan bau tidak sedap.
Istri nabi Ayyub AS menyarankan agar ia memohon kesembuhan kepada Allah swt. Sebagai nabi Allah, permohonannya pasti dikabulkan. Tapi apakah jawaban nabi Ayyub kepada istrinya?
Ia merasa malu jika tidak sabar dengan ujian ini. Selama 80 tahun diberikan kesehatan dan kecukupan, tetapi 18 tahun saja diberikan penyakit, ia sudah memohon kesembuhan.
Namun, karena ia memahami mungkin istrinya sudah lelah merawatnya, nabi Ayyub AS pun berdoa kepada Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang (Al Anbiya:83)
Dari kisah pengalaman penjual gado-gado, setelah mengalami gagal panen cabai, ia mengultimatum sang suami; ingin ikut ke kota mengadu nasib, atau bertahan sebagai petani di hulu pedalaman?Â
Di sana, dirinya sudah lama tak bertemu penjual ikan. Ingin menikmati daging ikan yang lezat, tetapi setiap hari janya bisa makan sayur dan sambal. Begitulah.
Tidak setiap diri dapat memaknai syukur sedalamnya. Kehidupan spiritual seseorang tidaklah sama.Â
Belajar memahami setiap kejadian yang dialami, merasa diri adalah milik  Sang Pencipta, dan kehidupan pun dalam genggamanNya, dapat memunculkan kesabaran dan penerimaan atas takdir Allah swt.
Manusia diminta untuk berikhtiar, seperti penjual gado-gado yang memutar haluan. Berusaha menempuh jalan lain untuk kesejahteraan hidup mendatang.
Yang salah adalah, ketika Allah swt menumbuhkan berbagai macam sayuran sebagai rahmat, manusia menjadikannya sia-sia dengan membuangnya begitu saja.Â
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H