Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kopi di Antara Kita

26 Agustus 2021   09:01 Diperbarui: 26 Agustus 2021   09:06 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kopi di antara kita (foto dari pexels.com)

"Selamat pagi, Pak," aku menyapa, tanpa senyuman. Biasa saja.

"Masih pandemi, semoga sehat ya Pak..." lelaki dengan kemeja biru laut itu, menatapku. Tepatnya memperhatikan.

Yang disapa hanya tersenyum. 

Aku suka melihat wajahnya yang bersih. Maksudku ia mempunyai sedikit brewok, tapi bukan itu. Tapi kulit wajahnya yang kelihatan bersih dan sehat. 

"Saya terlalu pagi, ya?" lelaki itu duduk di kursinya yang biasa. Setelah menatap berkeliling, tetap tak ada pengunjung lain di menit-menit pertamanya.

Aku mengerling padanya, "Menunggu gadis itu lagi, Pak?" ia tersenyum kecil.

Aku suka pengunjung seperti Pak Ben. Ia tidak kaku, ia mau mengobrol dengan barista di sini. Bukan hanya aku, tapi dengan yang lain juga.

Langit di luar mulai gelap. Aku memperhatikan dari balik dinding kaca. Warnanya kelabu, sangat tak berselera untuk berkencan.

"Jadi namanya Meri, bukan?" aku menyerahkan secangkir kopi favoritnya. 

Hmm...  aku menghirup diam-diam. Aku suka aroma kopi buatanku sendiri. Kapan kira-kira, aku akan meraciknya untuk seseorang yang spesial?

Sebagai anak yang tak kenal siapa ayahnya, aku juga tak pernah membuat kopi untuk seorang ayah. Bagimanakah rasanya, jika ayah menerima kopi buatan anaknya sendiri, dari dapur rumah mereka yang mungil?

"Kelihatannya dia baru sampai..." aku tersadar. Pak Ben memperhatikan pengunjung dengan tunik coklat yang baru melewati pintu masuk.

"Dia pasti menunggu seseorang, Pak."

"O ya?"

Aku mengangguk. Bukan main, sepasang mata pengawas terus saja bekerja.

Pak Ben menyesap kopi yang masih mengepul tipis. Sebungkus wafer cokelat dikeluarkannya dari dalam tas.

"Terima kasih, Pak," sambutku senang, seperti kejatuhan bulan. Wafer ini buatan luar, dan rasanya paling enak sedunia. Percayalah!

"Kamu juga suka kopi?" tanya lelaki itu. Sekilas terlihat deretan giginya yang rapi dan putih. Bersih. Jangan lupa, ya.

Aku berpikir sejenak. "Tentu, Pak!"

Lelaki itu membuka ponselnya. Tampaknya ada beberapa pesan masuk. Mungkin dari rekan atau tempatnya bekerja.

Kafe love story mulai dimasuki beberapa orang. Tanganku sigap mengerjakan pesanan dua wanita berjaket tebal. Mereka wajah baru, kalau aku tak salah.

Di luar hujan mengguyur cepat. Mobil-mobil bergerak perlahan melewati arah masuk. Beginilah saat musim hujan. Anak-anak ojek payung, tak lama lagi pasti mengerubungi pintu keluar.

Kulihat Pak Ben menyeruput kopi terakhirnya. Apa iya, lelaki itu bersiap pergi? Pasti ada urusan mendadak.

Agak di pojok dekat jendela yang terbuka, gadis bernama Meri itu sudah kedatangan orang yang ditunggunya. Seorang kakek dengan kemeja kotak-kotak kecil dan topi baret.

Pak Ben melihatnya sekilas, sambil menerima telepon dari seseorang.

Tiba-tiba darahku mengalir cepat. Hangat sampai ke pipi. Gelisah entah mengapa.

Sejak Pak Ben sering mampir ngopi di sini, aku seperti mengenalnya sudah lama. Tiap kali dia beranjak pulang, perasaanku pun biasa saja. Selama pengunjung memperlihatkan wajah cerah dan tak memberikan komplen apa-apa, semua itu cukup. 

Lalu?

"Ri, ibu loe, tuh!" Nina mencolek pinggangku. Aku sampai tak menyadari, ibu datang hujan-hujan begini. Tapi ada apa?

"Nak, ponselmu ketinggalan di kamar. Ada beberapa panggilan masuk, tanpa nama..." ibu menyerahkan tas selempang milikku. 

Kasihan ibu, sampai repot begini hujan-hujan mendatangiku. Sebaiknya aku...

"Sulis?" lelaki itu sudah berada di tengah-tengah aku dan ibu. Matanya tajam bagai elang, tak berkedip. Keningnya berkerut, penuh tanya. Ada apa??

"Akang?" ibu tak kalah kaget. Matanya juga menatap lelaki itu sangat lekat, seperti sangat mengenalnya.

*

Alunan musik kafe mendorongku membuka mata. Ada uap kopi yang sangat enak menguar ke hidungku.

Aku kaget, ada ibu yang merangkul dan menyentuh pipiku. 

"Sadar Nak, ayo..." ibu mengusap rambutku penuh sayang. 

Kulihat lelaki berwajah bersih itu masih di sini. Sepertinya ia ikut menungguiku. 

Ah, tentu saja. Bukankah tadi aku diberitahu sesuatu?

Dari balik dinding kaca, kulihat matahari sudah bersinar terang. Hilir mudik kendaraan, menjelma bagai kupu-kupu yang beterbangan. Alam menjadi indah. Bunga-bunga mekar penuh warna. Semangatku bangkit kembali.

Mulai sekarang, aku akan membuat kopi untuk lelaki berwajah bersih itu. Kopi dengan racikan yang sangat spesial tentu...

SELESAI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun