Sebagai anak yang tak kenal siapa ayahnya, aku juga tak pernah membuat kopi untuk seorang ayah. Bagimanakah rasanya, jika ayah menerima kopi buatan anaknya sendiri, dari dapur rumah mereka yang mungil?
"Kelihatannya dia baru sampai..." aku tersadar. Pak Ben memperhatikan pengunjung dengan tunik coklat yang baru melewati pintu masuk.
"Dia pasti menunggu seseorang, Pak."
"O ya?"
Aku mengangguk. Bukan main, sepasang mata pengawas terus saja bekerja.
Pak Ben menyesap kopi yang masih mengepul tipis. Sebungkus wafer cokelat dikeluarkannya dari dalam tas.
"Terima kasih, Pak," sambutku senang, seperti kejatuhan bulan. Wafer ini buatan luar, dan rasanya paling enak sedunia. Percayalah!
"Kamu juga suka kopi?" tanya lelaki itu. Sekilas terlihat deretan giginya yang rapi dan putih. Bersih. Jangan lupa, ya.
Aku berpikir sejenak. "Tentu, Pak!"
Lelaki itu membuka ponselnya. Tampaknya ada beberapa pesan masuk. Mungkin dari rekan atau tempatnya bekerja.
Kafe love story mulai dimasuki beberapa orang. Tanganku sigap mengerjakan pesanan dua wanita berjaket tebal. Mereka wajah baru, kalau aku tak salah.