Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bulan Biru dalam Pelukan

24 Agustus 2021   07:39 Diperbarui: 24 Agustus 2021   07:41 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bulan biru dalam pelukan (foto via kompas.com)

Serpihan angin menelusup ke celah dinding, menggigit kulit tua acil Aluh yang mulai kendur. Sesaat ia bergidik. 

Diambilnya sarung khas suku Banjar yang disampirkan pada salah satu sisi ranjang besi. Lalu ditutupkan ke  punggungnya sebagai pengganti jaket. 

Sarung Sasirangan ini, didapat dari ibunya. Merupakan salah satu hantaran perkawinan datuk acil Aluh (nenek dari ibunya). 

Dulu jumlahnya masih genap dua puluh lembar sarung. Tapi sudah banyak dibagikan pada anggota keluarga lain. Penampilannya pun sudah cukup lusuh. Oleh acil Aluh hanya dipakai menghangatkan badan, seperti malam ini. 

Perlahan wanita dengan rambut awut-awutan itu menyeret kedua kakinya ke pintu. Suara derik pintu kayu saat dibuka, membangunkan kucing kesayangannya yang tidur dalam lemari bekas yang sudah akan dibuang. 

Ya, hanya si Bungas yang menemaninya di rumah. Anabul kecil itu langsung menggosok-gosokkan tubuhnya di kaki Acil Aluh.

"Guring tarus ikam, Bungas..." [tidur saja kerjamu, Bungas...]

"Aku kada kawa guring..." [saya tidak dapat memejamkan mata...]

"Dasar ngalih, mun keganangan kaya aku ni kam..." [memanglah susah kalau sedang menanggung rindu sepertiku...]

Seakan mengerti dengan perasaan wanita paruh baya itu, si Bungas menghentikan aksi manjanya. Ia lalu mengikuti acil Aluh dari belakang.  

Desir angin bertiup sekali lagi. Acil Aluh tak peduli. Ia menghempaskan tubuhnya pada kursi rotan di ambin (teras) rumah, menatap bulan yang sedang purnama.

Tadi siang orang di pasar sempat membicarakannya. Katanya ini adalah purnama ke tiga belas yang khusus hadir pada 22 Agustus 2021. Bulan biru namanya, walau warnanya tidak benar-benar biru.

Acil Aluh tak terlalu perduli tentang bulan biru. Baginya ini adalah purnama ke delapan belas ia gagal bertemu Halimah, putrinya semata wayang.

Sejak suaminya berpulang tiga tahun lalu, dan Halimah menikah setelah haul pertama abahnya, praktis acil Aluh hanya tinggal sendiri. Sebab Halimah diboyong sang suami ke Kota Baru, 450 km dari Samarinda. 

Itulah mengapa ia seperti kehilangan semangat hidup, akhir-akhir ini. Jarang makan, dan sulit memejamkan mata.

Anabul berwarna hitam coklat sekonyong-konyong melompat ke pangkuan wanita muram itu. Perutnya lapar, karena acil Aluh lupa memberinya makan. Wanita itu bahkan tak makan nasi sejak pulang berjualan di pasar.

"Ju rang PPKM, Bungas... Kada kawa anakku biar handak bulik melihat kuitannya..." [katanya PPKM, anak saya tidak bisa pulang biarpun ingin menengok ibunya sendiri..."

Setitik air bening, jatuh di pipi tirusnya. Kerinduan kepada satu-satunya permata yang berharga, seperti merobek hatinya. Tapi ia bisa apa?

Sebenarnya ia sadar, orang-orang di pasar kerap memandanginya dengan rasa kasihan. Wajahnya tampak lelah, baju panjangnya tampak kotor, sedang gajinya dari bekerja di toko sayur-mayur mungkin tak terlalu besar, pikir mereka.

"E copot, e copot!!" wanita itu terperanjat latah. Ponsel kecil di saku dasternya tiba-tiba berdering. Ia kaget bukan main.

"Nah Bungas, siapa garang lah manilpon tangah malam kaya ini?" [Bungas, siapa kira-kira yang menghubungi tengah malam begini?]

Yang ditanya tak membuka mata, terus saja berlagak tidur di pangkuan wanita itu.

"Haa?? Bujuran kah? Kada bedusta kah, Sus? Bujuran anakku di rumah sakit?"

"Ya, ya bujur. Ngarannya Halimah, 21 tahun. Ya, Tinggalnya Kota Baru. Tapi aku di Samarinda. Anakku umpat lakinya."

"Ya, mana minantuku? Ya, Saiful."

"Saiful, kenapa Halimah? Garing apa sampai di rumah sakit?"

Wanita itu tak peduli bulan biru tengah menyinari wajahnya. Atau kesunyian malam akan merekam seluruh kejadian ini.

Si Bungas melotot bangun dan menegakkan telinga. Cepat ia melompat turun dan sembunyi di bawah meja. Diawasinya wanita itu menangis sejadi-jadinya. Dihempaskannya ponsel jadul itu, begitu mendengar sendiri dari menantunya.

Beberapa tetangga yang sedang lelap dalam dunia mimpi, bergegas datang untuk melihat keadaannya. 

"Anakku meninggal, anakku meninggal, si Halimah..."

Satu dua orang terhenyak kaget, lalu membaca zikir menyabarkan hati.

"Jar sapa, Cil? Meninggal kenapa, Halimah? Bujuran kah, ini?" [Informasi dari siapa, Bu? Halimah meninggal kenapa? Serius kah, ini?]

"Jar suster rumah sakit, jar minantuku sorang, kaya apa ini?" [Kata suster rumah sakit, kabar dari menantu saya sendiri. Bagaimana ini?]

"Hadang Cil, sabar dulu, Pian. Meninggalnya kenapa??" [Tunggu Bu, sabarlah dulu. Meninggal karena apa?]

"Ai..., si Halimah kena covid! Inya ngedrop, inya kada bekabar lawan aku, nyatanya aku kada kawa guring kada kawa makan. Si Halimah pang sakit di sana..." [Lho, Halimah kena covid 19! Kondisinya drop. Halimah dan suaminya tidak memberi kabar. Pantas saja saya susah tidur dan tidak selera makan. Ternyata Halimah sakit, di sana...]

Para tetangga yang mendengar, tertunduk lesu. Bulan tiba-tiba sembunyi di punggung awan mendung. Tinggallah si Bungas, menggigil di bawah meja.

SELESAI

*Cerpen ini fiktif belaka, sebagai harapan dari penulis, wabah covid 19 cepat berlalu. Identitas dan nama daerah, sebagai perkenalan bagi pembaca. Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun