Iya, kukatakan begitu karena terlalu banyak lapisan masyarakat yang merasa terdampak. Tak usah bicara orang kaya yang harus menggadaikan hartanya demi membayar gaji karyawannya. Apalah lagi orang kecil seperti kita, bukan?
Katamu warung ayam penyet bapak terpaksa harus berubah jadi gerobak keliling, meski dengan menu yang sama. Meskipun omset jauh menurun, setidaknya kalian masih bisa bertahan hidup di Jakarta.
Omong kosong! Virus ini sudah mengerjai kita berkepanjangan. Dua bulan yang lalu bapak terpaksa pulang kampung juga. Berusaha menanam cabe di sana. Moga- moga saja bisa menghasilkan.
Aku menutup mataku dengan tangan. Sebenarnya aku berusaha menerima mengapa kau tak menjawab panggilanku akhir-akhir ini. Bahkan akun media sosial mu pun tak aktif. Aneh juga sebenarnya. Padahal biasanya tiada hari tanpa posting di grup foto kesayanganmu. Apa iya kau juga sedang bokek, sama sepertiku saat ini?
Memang pandemi seperti ini sering meruntuhkan digit kekayaan orang-orang tajir, alih-alih manusia seperti kau dan aku.
*
Jam di meja baru menunjuk pukul dua dini hari, saat kulemparkan selimut. Aku mimpi buruk tentangmu, yaa?
Ah, dasar bodoh! Belum tentu kan kau di sana sedang memimpikan aku? Kau bahkan sedang kehabisan kuota, bahkan.
Tunggu. Sepertinya tadi suara chat masuk. Setidaknya aku masih bisa membalas dengan kuota bonus. Dari siapa kira-kira tengah malam begini?
[Ri, buruan kutunggu di rumah sakit. Kabar buruk tentang Omar. Yang kuat yaa...]
Demikian isi pesan pendek dari Vivi. Ah, apa maksudnya?