Malam seperti beku. Perut yang belum terisi sejak siang, bertambah melilit jadinya. Apakah aku ditunggu saat ini juga?
Vivi seringnya main preng demi konten. Ah, apakah aku harus percaya pada anak tengil itu? Awas saja kalau berani jual nama Omar demi mengerjaiku tengah malam begini.
Kuputuskan berganti baju dan mengetuk pintu rumah sebelah. Sekali-sekali mengganggu kang ojol lagi tidur, apa boleh buat.
*
Orang bilang, kalau cinta janganlah menyusahkan. Agaknya prinsip ini yang dipegang Omar di akhir hidupnya. Pantas saja minggu-minggu terakhir ini ia tak ingin ditemui. Ia seakan menutup diri dariku. Padahal sejak bapak pulang kampung, praktis tak seorang pun yang menemaninya dua bulan terakhir.
Untunglah Vivi menjadi tetangga sekaligus sahabatnya. Kalau tidak, bahkan melihat sosok Omar terakhir kali sebelum disimpan dalam peti, tidak akan terjadi. Ternyata Vivi tak seburuk penilaianku.
"Aku pasti mencarimu, dan pasti merindukanmu. Entah apakah aku bisa melewati ini," bisikku dari kejauhan.Â
Begitu beruntun korban terpapar yang tewas, dibawa ambulans jauh lebih sering dari sebelumnya. Kini kabar kematian itu bukan hanya berita di media, tapi menimpaku tanpa pilih kasih.
Kulihat sekelompok orang dengan seragam APD, bahu-membahu menutup kembali tanah peristirahatan khusus penderita covid 19.
Entah apakah ada gunanya memanggil Bapak ke Jakarta. PPKM ini tidak akan membiarkan siapapun bebas keluar-masuk apapun urusannya.
Siang menjadi sangat terik. Matahari menimpa tanpa sedikitpun ada semilir angin. Aku tergugu di bawah pohon halaban, tanpa bisa melihat dari dekat.