Aku menutup diri, meski bukan di dalam kamarku. Karena aku bukan tipe gadis yang uring-uringan di atas kasur empuk, sambil tangannya memegang ponsel.
Aku memagut sepi, cukup di teras kost putri yang dulu sering kau singgahi. Kali ini tanpa secangkir kopi putih dan sepotong roti sobek rasa moka. Iya, aku sedang bokek, dan juga sedang galau.
PPKM yang belakangan jadi ketetapan pemerintah, berhasil menenggelamkan dirimu, dan mengancam kandasnya hubungan kita. Sebab kuota juga tinggal di ujung limit. Bagaimana cara kita menikmati hubungan ini tanpa tatap muka?Â
Engkau pun tahu aku orang yang tak cukup sabar, sebenarnya. Tetapi terhadap pandemi yang sudah berlangsung cukup lama, jelas aku sudah sangat sabar.
Bahkan ketika hadiah untukku tak dapat terkirim via ekspedisi, aku diam saja menerima.
Syukur-syukur setelah tempat kerjaku gulung tikar, aku masih bisa mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Walau ya, di tempat yang baru tidak ada lagi aroma roti seperti sebelumnya.
Itulah mengapa aku sekarang memilih menutup diri. Aku tak ingin pergi kemana pun, tak ingin bercerita pada siapa pun dan juga tak ingin menuliskannya dalam diary. Bukankah katamu itu cengeng?
Mungkin kau benar, aku memang cengeng. Untuk itulah aku sekarang diam seperti orang melakukan yoga. Aku berusaha menenangkan diri. Berusaha memusatkan pikiran dengan satu kata: tenang.
Ujung kakiku merasakan udara sore yang mulai dingin. Cuaca juga mulai redup, seiring senja mulai datang.
Aku mengamati lalu-lalang kendaraan semakin dikejar waktu. Saat azan magrib, sebaiknya sudah sampai tujuan. Tidak lagi di jalan. Maka ramai-ramai lah mereka berpacu.
Di antara kesibukan orang-orang yang bergerak pulang, aku melihat sebuah ambulans mengambil perhatian. Entah ini yang ke berapa kali, hari ini saja. Mendadak kendaraan itu menjadi populer sekarang. Kematian beruntun terjadi dimana-mana akibat wabah yang menyerang tanpa ampun.
Iya, kukatakan begitu karena terlalu banyak lapisan masyarakat yang merasa terdampak. Tak usah bicara orang kaya yang harus menggadaikan hartanya demi membayar gaji karyawannya. Apalah lagi orang kecil seperti kita, bukan?
Katamu warung ayam penyet bapak terpaksa harus berubah jadi gerobak keliling, meski dengan menu yang sama. Meskipun omset jauh menurun, setidaknya kalian masih bisa bertahan hidup di Jakarta.
Omong kosong! Virus ini sudah mengerjai kita berkepanjangan. Dua bulan yang lalu bapak terpaksa pulang kampung juga. Berusaha menanam cabe di sana. Moga- moga saja bisa menghasilkan.
Aku menutup mataku dengan tangan. Sebenarnya aku berusaha menerima mengapa kau tak menjawab panggilanku akhir-akhir ini. Bahkan akun media sosial mu pun tak aktif. Aneh juga sebenarnya. Padahal biasanya tiada hari tanpa posting di grup foto kesayanganmu. Apa iya kau juga sedang bokek, sama sepertiku saat ini?
Memang pandemi seperti ini sering meruntuhkan digit kekayaan orang-orang tajir, alih-alih manusia seperti kau dan aku.
*
Jam di meja baru menunjuk pukul dua dini hari, saat kulemparkan selimut. Aku mimpi buruk tentangmu, yaa?
Ah, dasar bodoh! Belum tentu kan kau di sana sedang memimpikan aku? Kau bahkan sedang kehabisan kuota, bahkan.
Tunggu. Sepertinya tadi suara chat masuk. Setidaknya aku masih bisa membalas dengan kuota bonus. Dari siapa kira-kira tengah malam begini?
[Ri, buruan kutunggu di rumah sakit. Kabar buruk tentang Omar. Yang kuat yaa...]
Demikian isi pesan pendek dari Vivi. Ah, apa maksudnya?
Malam seperti beku. Perut yang belum terisi sejak siang, bertambah melilit jadinya. Apakah aku ditunggu saat ini juga?
Vivi seringnya main preng demi konten. Ah, apakah aku harus percaya pada anak tengil itu? Awas saja kalau berani jual nama Omar demi mengerjaiku tengah malam begini.
Kuputuskan berganti baju dan mengetuk pintu rumah sebelah. Sekali-sekali mengganggu kang ojol lagi tidur, apa boleh buat.
*
Orang bilang, kalau cinta janganlah menyusahkan. Agaknya prinsip ini yang dipegang Omar di akhir hidupnya. Pantas saja minggu-minggu terakhir ini ia tak ingin ditemui. Ia seakan menutup diri dariku. Padahal sejak bapak pulang kampung, praktis tak seorang pun yang menemaninya dua bulan terakhir.
Untunglah Vivi menjadi tetangga sekaligus sahabatnya. Kalau tidak, bahkan melihat sosok Omar terakhir kali sebelum disimpan dalam peti, tidak akan terjadi. Ternyata Vivi tak seburuk penilaianku.
"Aku pasti mencarimu, dan pasti merindukanmu. Entah apakah aku bisa melewati ini," bisikku dari kejauhan.Â
Begitu beruntun korban terpapar yang tewas, dibawa ambulans jauh lebih sering dari sebelumnya. Kini kabar kematian itu bukan hanya berita di media, tapi menimpaku tanpa pilih kasih.
Kulihat sekelompok orang dengan seragam APD, bahu-membahu menutup kembali tanah peristirahatan khusus penderita covid 19.
Entah apakah ada gunanya memanggil Bapak ke Jakarta. PPKM ini tidak akan membiarkan siapapun bebas keluar-masuk apapun urusannya.
Siang menjadi sangat terik. Matahari menimpa tanpa sedikitpun ada semilir angin. Aku tergugu di bawah pohon halaban, tanpa bisa melihat dari dekat.
SELESAI
__________
Cerita ini murni cerita fiksi. Ditulis sebagai rangkaian sebelum puisi Aku Mencarimu, Mencarimu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H