"Pak Saman pernah tanya, apakah Atik pernah kirim makanan ke rumah sakit? Rupanya mereka ribut di rumah mewahnya?"
"Keterlaluan, anak sulungnya disuruh ciduk BNN, rupanya untuk menghilangkan saksi bahwa dia selingkuh!"
"Dengan tamu ganteng dari Aceh, kan?"
"Ganteng tapi punya istri, di sana..."
Aku mendengar ibu-ibu berkomentar silih berganti. Sekalipun aku tak menambahi. Bergegas saja pulang ke rumah.
Tiga bulan kemudian...
Kenduri 40 hari meninggalnya Mamak Aji baru saja berlalu beberapa hari. Kak Atik tampak kurus, tak pernah lagi pulang ke rumahnya yang adem dan terawat.
Kebetulan aku harus pulang kampung, setelah mendapat kabar, ibu sakit keras.
Beberapa waktu berlalu. Tersiar kabar rumah petak yang dulu kutempati, telah dijual oleh Pak Saman. Begitu pula aset rumah tangganya berupa rumah mentereng dan mobil. Sepeser pun Kak Atik tidak menerima bagian. Ia ditalak tanpa diberikan haknya.
Aku terbayang sosok wanita yang terpekur, duduk menunggu pembayaran penghuni kontrakan milik Mamak Aji. Hanya uang kecil, yang akan membuat mukanya masam.
SELESAI