Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seorang Lelaki yang Mengeluh tentang Anaknya

3 Juli 2021   19:37 Diperbarui: 3 Juli 2021   19:54 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku agak terheran-heran, begitu tiba di rumah bapak. Betapa tidak, belum lagi aku sempat mengucapkan salam, seorang lelaki yang kukenal baik, tampak berjalan memasuki halaman.

Namanya Pak Hardi, teman almarhumah ibu saat bekerja di pabrik, puluhan tahun yang lalu. Rumahnya juga tak jauh dari rumah bapak. Hanya terpaut lima rumah warga. Hanya saja sejak menikah, aku sudah jarang melihat beliau ini.

"Mari silahkan, Pak," sambutku seramah mungkin. Di dalam hati aku berniat memanggil bapak, yang kelihatannya sedang tidur. Tentu kedatangannya untuk bertemu bapak, bukan?

"Saya cuma mampir sebentar," sahutnya dengan nafas agak tersengal. Ia lalu duduk di tangga ulin, tangga khas rumah panggung di Kalimantan.

Kuamati wajahnya tak banyak berubah, dari terakhir aku melihatnya saat kanak-kanak. Posturnya cenderung gemuk, meski kabarnya ia sudah berkali-kali dirawat karena penyakit jantung. Tiga buah ring bahkan sudah dipasang.

"Terus terang aku iri melihatmu ," katanya begitu berhasil mengatur nafas. 

Aku mengambil posisi duduk di lantai ulin, walau sebenarnya ada beberapa kursi yang bisa digunakan.

"Saya tahu waktu ibumu sakit, kamu datang setiap hari," katanya dengan mata menerawang.

Ingatanku seketika terbang ke masa lalu.

Memang benar, beberapa waktu yang lalu, ibu tergolek lemah dalam sakitnya. Sebuah perjuangan yang tak mudah bagi penderita kanker stadium empat.

Lalu apakah aku sebagai anak pertama ibu, akan tega membiarkannya melewati semua ini? 

Aku harus hadir di saat-saat sulit ibuku sendiri, dengan segala empati cinta dan kasih sayang.

Ibu pernah memperjuangkan keberadaanku di dunia. Ibu bersusah payah bekerja di pabrik untuk membesarkan dan menyekolahkanku. Sedikit pun aku belum bisa membalasnya.

Memang sedih mengenang itu semua. 

Dengan rela aku pulang dari rantau untuk menemui ibu. Dengan setia pula aku berada di sisinya. Sekedar menguatkan hatinya, atau mengabulkan permintaan-permintaan kecil saja.

"Dari rumah, kamu naik sepeda motor ke rumah orang tuamu, melewati jalan penuh tikungan dan tanjakan, padahal kamu seorang perempuan," kata Pak Hardi membuyarkan kenanganku.

Kulihat ketegaran di wajahnya mulai goyah. Raut wajahnya tampak begitu sedih, seakan menahan air mata sekian lama.

"Anak saya yang tua, sudah punya anak dan suami, tinggal bersebelahan dengan kami, tak sekali pun menengok sewaktu bapaknya ini sakit..." katanya dwngan suara serak.

Selintas kulihat ia menyeka sudut matanya yang mulai basah. Hidungnya yang menyerupai paruh betet, tampak merah menahan hati yang teriris. Ah, separah itu.

"Padahal berpuluh tahun saya kerja untuk menyekolahkan dia dan adik-adiknya, supaya mereka jadi orang pintar..."

Deg! Aku terdiam. 

Aku tahu betul bagaimana jerih payah suamiku mencari nafkah. Panas dan hujan menderanya demi mengumpulkan rezeki. Demi sebuah kewajiban seorang ayah!

"Saya sakit, Ka, makanya beberapa tahun ini tidak bekerja seperti dulu. Perabot rumah satu-satu sudah dijual istri. Rumah pun sudah dicarikan pembeli. Trus kami nanti mau tinggal dimana?"

Kali ini giliran mataku yang terasa panas. Sebentuk telaga pasti sudah tercipta di sana. Inikah kisah hari tua seorang pekerja pabrik?

"Bertahun-tahun setelah pabrik bangkrut akibat krismon, saya bekerja ikut kapal speed boat. Saya minum minyak goreng satu sendok setiap hari sebelum berangkat. Katanya biar kami tidak mual. Bayangkan, satu sendok minyak goreng diminum selama bertahun-tahun. Pantas saja jantung saya dibungkus lemak..."

Aku tak tahu harus berkata apa. Aku hanya membisu, sambil mengingat  anak-anakku di rumah yang masih kecil.

Setiap hari aku mengajari mereka banyak hal. Siang dan malam tak lupa kupanjatkan doa untuk keselamatan, kebahagiaan dan keberkahan untuk mereka. 

Cukupkah? 

Rasanya aku ingin menangis berderai-derai.

Tiga bulan, setelah perbincangan itu, bapak memberi kabar saat aku datang seperti biasa. Pak Hardi pulang menghadap sang khaliq.

Pak Hardi, selamat jalan. Percayalah anak-anak Bapak akan setia berdoa di depan makam ayahnya. Hari ini, esok dan seterusnya.

SELESAI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun