Aku agak terheran-heran, begitu tiba di rumah bapak. Betapa tidak, belum lagi aku sempat mengucapkan salam, seorang lelaki yang kukenal baik, tampak berjalan memasuki halaman.
Namanya Pak Hardi, teman almarhumah ibu saat bekerja di pabrik, puluhan tahun yang lalu. Rumahnya juga tak jauh dari rumah bapak. Hanya terpaut lima rumah warga. Hanya saja sejak menikah, aku sudah jarang melihat beliau ini.
"Mari silahkan, Pak," sambutku seramah mungkin. Di dalam hati aku berniat memanggil bapak, yang kelihatannya sedang tidur. Tentu kedatangannya untuk bertemu bapak, bukan?
"Saya cuma mampir sebentar," sahutnya dengan nafas agak tersengal. Ia lalu duduk di tangga ulin, tangga khas rumah panggung di Kalimantan.
Kuamati wajahnya tak banyak berubah, dari terakhir aku melihatnya saat kanak-kanak. Posturnya cenderung gemuk, meski kabarnya ia sudah berkali-kali dirawat karena penyakit jantung. Tiga buah ring bahkan sudah dipasang.
"Terus terang aku iri melihatmu ," katanya begitu berhasil mengatur nafas.Â
Aku mengambil posisi duduk di lantai ulin, walau sebenarnya ada beberapa kursi yang bisa digunakan.
"Saya tahu waktu ibumu sakit, kamu datang setiap hari," katanya dengan mata menerawang.
Ingatanku seketika terbang ke masa lalu.
Memang benar, beberapa waktu yang lalu, ibu tergolek lemah dalam sakitnya. Sebuah perjuangan yang tak mudah bagi penderita kanker stadium empat.
Lalu apakah aku sebagai anak pertama ibu, akan tega membiarkannya melewati semua ini?Â