Aku harus hadir di saat-saat sulit ibuku sendiri, dengan segala empati cinta dan kasih sayang.
Ibu pernah memperjuangkan keberadaanku di dunia. Ibu bersusah payah bekerja di pabrik untuk membesarkan dan menyekolahkanku. Sedikit pun aku belum bisa membalasnya.
Memang sedih mengenang itu semua.Â
Dengan rela aku pulang dari rantau untuk menemui ibu. Dengan setia pula aku berada di sisinya. Sekedar menguatkan hatinya, atau mengabulkan permintaan-permintaan kecil saja.
"Dari rumah, kamu naik sepeda motor ke rumah orang tuamu, melewati jalan penuh tikungan dan tanjakan, padahal kamu seorang perempuan," kata Pak Hardi membuyarkan kenanganku.
Kulihat ketegaran di wajahnya mulai goyah. Raut wajahnya tampak begitu sedih, seakan menahan air mata sekian lama.
"Anak saya yang tua, sudah punya anak dan suami, tinggal bersebelahan dengan kami, tak sekali pun menengok sewaktu bapaknya ini sakit..." katanya dwngan suara serak.
Selintas kulihat ia menyeka sudut matanya yang mulai basah. Hidungnya yang menyerupai paruh betet, tampak merah menahan hati yang teriris. Ah, separah itu.
"Padahal berpuluh tahun saya kerja untuk menyekolahkan dia dan adik-adiknya, supaya mereka jadi orang pintar..."
Deg! Aku terdiam.Â
Aku tahu betul bagaimana jerih payah suamiku mencari nafkah. Panas dan hujan menderanya demi mengumpulkan rezeki. Demi sebuah kewajiban seorang ayah!