Malam minggu, seperti biasa hanya kuhabiskan dengan berselancar di media sosial. Tak ada keinginan untuk mengiyakan ajakan kelompok futsal malam. Atau jjs di mall, menurutku juga bukan ide yang baik di masa pandemi.
Terlalu banyak teman yang usil menggodaku. Dulu mereka menganggap aku jomblo ngenes, sebab Novi menerima laki-laki lain yang dijodohkan orang tuanya. Padahal seingatku, aku baik-baik saja waktu itu.
Aku cukup beruntung, kesibukanku mengajar tak membuat hari-hari sepi. Walau, di ruang dewan guru hanya aku dan Ical yang belum sukses ke pelaminan. Aku percaya jodoh pasti bertemu.
Kalimat itu juga yang pernah kukatakan pada Novi, belasan tahun silam. Saat kami duduk menikmati sepoi angin di bawah pohon Jembolan. Saat itu ia memberitahu perjodohannya dengan Ibrahim Sampe.
Novi memang manis. Wajahnya yang sederhana selalu dihiasi senyum lebar. Deretan giginya yang putih, kontras dengan sepasang bibir pink alami. Kebaikan hatinya seakan terpancar dari sana.
Selama kami pacaran, ia tak pernah rewel minta ini-itu. Â Sebungkus keripik sudah cukup untuk menemani kami melepas rindu sambil berjalan-jalan di dekat tambak udang.
"Kamu tahu kan, Novi anak perempuan saya satu-satunya. Saya ingin dia punya masa depan yang jelas dan rumah tangganya bahagia!" tandas Pak Anas seperti petir di siang bolong di telingaku. Pupus sudah harapan untuk membujuk ayah Novi.
Untuk menghindari pemandangan yang tidak mengenakkan, aku pun mengurus mutasi dan mengemasi beberapa barang. Pindah di kabupaten lain mencari suasana baru. Terlalu banyak kenangan di sini yang mungkin harus dilupakan.
Tahun pertama, bayangan wajah Novi memang masih sering bermain di kepala. Bahkan Bu guru Ariana yang menaruh perhatian khusus tak bisa benar-benar kutanggapi.Â
*
Matahari bersinar cerah. Bunga-bunga menebarkan aroma wangi. Tamu undangan terus berdatangan di hari pernikahanku dengan Lusi.Â
Begitulah takdir hidup. Tak ada Novi, Lusi pun jadi. Maksudku, kita tak pernah tahu dengan siapa akan berjodoh. Percaya saja Allah sudah mengatur yang terbaik.
Bersama Lusi, perlahan tapi pasti kehidupanku berubah. Selain kami berbahagia dengan lahirnya dua putri kembar, Reina dan Rani, akupun resmi terangkat sebagai ASN. Persis seperti syarat ayah Novi waktu itu.
Meski kadang terbersit kenangan tentang gadisku di masa lalu, sejujurnya musim rindu telah berlalu. Waktu tak akan bisa diputar kembali. Andai saja kami masih bisa bersatu... ah kubuang jauh-jauh pikiran itu.
Aku harus menghargai sosok istri yang sudah mencurahkan hidupnya untuk merawat aku dan kedua putri kami. Setidaknya sampai akhir hayatnya. Ya, Lusi mendahului kami semua menemui sang khaliq. Reina dan Rani terpaksa dirawat ibu mertua. Agar aku bisa fokus mengajar, kata beliau.
*
Libur kenaikan kelas telah tiba. Setelah sempat menghabiskan waktu seminggu bersama si kembar, aku pamit menengok bapak dan mamak yang sudah lama tak memeluk anak kesayangannya ini.
Rasanya tidak ada yang berubah. Rumah dan halaman masih terawat. Cuma jalan masuk kampung sudah mengalami perbaikan. Mulus dan tidak becek seperti dulu.Â
Pagi itu, saat matahari mulai merangkak naik, aku bersiap pergi ke pasar. Sudah lama aku tak makan Mararaban, kue talam khas Banjar berbahan gula merah dengan aroma kayu manis.Â
Memang enak pulang ke kampung halaman. Bisa bermanja lagi di pangkuan mamak. Bisa menikmati sayur asam keladi masakan mamak. Bisa main futsal bersama teman-teman lama.
Tunggu, siapa itu? Novi?
Ah, sudah dua minggu aku tak bertanya atau berusaha menemuinya. Biar bagaimana, aku tak mau dibilang mengganggu kebahagiaan rumah tangganya. Bagiku musim rindu telah berlalu.
"Hai...." sapanya begitu aku menghentikan motor, tepat di sisinya.
Wajah itu, masih manis seperti dulu. Wajah sederhana yang selalu dihiasi senyum lebar. Deretan giginya yang putih, kontras dengan bibir pink alami. Membawa payung dan berjalan kaki begitu rupa.
"Hai, Nov..."
"Apa kabarmu?"
Kuamati bayi dalam dekapannya, masih merah. Dua balita lainnya, berkeliaran di sekitar kakinya.Â
Aku hanya bisa terdiam dan terpana.
"Kabar baik. Kapan datang?" tanyanya masih dengan senyum lebar yang dulu.
"Sudah sekitar dua minggu. Maaf aku tak mengabari. Aku tak mau mengganggu kehidupanmu."
"Ah, apa benar? Mungkin kau sudah lupa aku..."
Tidak, aku tidak lupa. Bagaimana aku bisa melupakan gadis sederhana yang dulu aku ingin hidup dengannya. Hanya saja, musim rindu telah berlalu. Aku yakin itu.
Kutatap mata gadisku yang kini menjadi milik orang.Â
Apa benar ia bahagia?
Sesaat ia pamit, dan meneruskan perjalanan pulang ke rumah. Jarak posyandu dan rumah gadisku sekitar dua ratus meter.Â
Tak bisakah lelaki itu mengantarnya? Mereka telah mempunyai lima anak. Tiga diantaranya yang baru saja kulihat.
SELESAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H