Mereka juga tampak bahagia dan hangat. Meski kalau diingat-ingat, lebih dari setengah abad biduk keduanya menempuh onak duri.Â
Di hari ketiga, ibu masak istimewa, setelah dua hari sebelumnya kami habiskan berkeliling kota dan makan di luar.
Papuyu babanam, kuliner khas suku Banjar ini memang kegemaranku. Kami memang tinggal di lingkungan suku yang gemar maunjun (bahasa Banjar: memancing ikan). Ibu membeli dari Acil Iril seharga dua puluh lima ribu sekilonya. Istimewa karena ikan masih hidup dan fresh dari alam.Â
Dipadu sambal acan (sambal terasi) dan gangan krawila (sayur gambas), dijamin makanku nambah dari biasanya. Tapi tunggu...
Seingatku, ada yang kurang dengan menu di hadapanku. Tempe bacem, ya! Bukannya ibu tak bisa melupakan menu favoritnya ini?
"Sudah lama ibu ndak makan tempe bacem Mak Luna..." seloroh ibu. Tapi kenapa?
"Warteg nya sudah bubar, rumahnya kejual, Nduk..."
Aku bertambah bingung. Apa iya?
***
Sore itu, sebenarnya aku agak kurang sehat. Tapi suamiku harus bertemu kawan bisnisnya di sebuah kafe. Sejak dulu ia terbiasa membawaku kemanapun pergi. Ehem.
Sempat ia menawarkan supaya aku beristirahat saja dulu. Tapi entah kenapa kepalaku justru menggeleng.