Mungkin di dalam doa-doanya, seorang ibu membanjiri sajadahnya dengan air mata, memohon Allah swt berkenan mengangkat kesusahan yang menghampiri kehidupan anaknya.
Di malam idul fitri 2021 [menurut KBBI, tanpa spasi], saya sedang menyapa sahabat dumay, pada laman facebook. Gema takbir berkumandang sepanjang malam, menghadirkan suasana nan syahdu.
Sebuah berita duka pun terbaca. Ibunda seorang sahabat lama semasa sekolah dulu, berpulang di penghujung ramadhan.Â
Sejak menikah, saya dan suami tinggal di kampung lain. Kami cukup sering  datang ke rumah orang tua, tapi hanya sesekali berkesempatan mengunjungi beberapa sahabat di kampung. Di antaranya adalah Asih, Rani dan Sonia.
Badai ekonomi itu melanda
Enam bulan yang lalu, Asih dan Deni (suami) plus anak lelaki mereka yang baru 5 tahun, mampir ke rumah. Tepat di siang bolong, saat saya dan anak-anak tengah rebahan di depan kipas angin.Â
Cuaca memang panas saat itu. Dan bertambah terasa gerah, saat mengetahui mereka ini dalam "pelarian."
Keesokan harinya, saat saya baru saja selesai mandi pagi, Asih dan Deni kembali menampakkan batang hidungnya. Anak bungsu yang dibawanya, sudah semakin rewel dari sebelumnya. Asih sendiri, malah suaranya terdengar bindeng dan wajahnya tampak pucat.Â
Saya mencari obat flu dan segelas air putih. Asih segera meminumnya, lalu beranjak ke pembaringan. Sementara Deni tampak tiduran di bale-bale di bawah pohon yang rindang.
Sepanjang siang, Asih hanya terbaring lesu layaknya orang sakit. Tubuhnya sudah lebih kurus dari pertemuan kami enam bulan sebelumnya saat Idulfitri tahun lalu.
1 syawal, di hari kemenangan
Saya menyempatkan datang ke rumah duka. Walau bagaimana, almarhumah sudah saya kenal lama, sejak saya dan Asih masih sama-sama di bangku sekolah dasar.
Di kediaman almarhumah yang juga ditempati Asih, suami serta dua anak lelakinya, memang tampak lebih ramai dari biasanya. Beberapa orang yang tidak saya kenal, turut berada di sana. Sementara Asih dan sebagian tamu, sedang mengantar jenazah almarhum ke pemakaman.
Sambil menunggu, saya duduk di atas tikar plastik yang sobek di sana-sini.Â
Anak pertama Asih (13 tahun), sedikit menceritakan ikhwal meninggalnya sang nenek.
"Nenek sakit selama dua minggu, Bu. Sempat muntah darah banyak, padahal nenek tak pernah sakit sebelumnya..."Â
Tanpa sadar, sudut mata saya pun basah karenanya.Â
Ternyata di usianya yang sepuh, almarhumah merasakan sakit tanpa adanya biaya berobat maupun jaminan kesehatan yang disediakan pemerintah. Hanya sebotol air mineral yang sudah dibacakan doa-doa. Cara berobat khas orang kampung.
Informasi 1
Saya mengunjungi Rani, menyambung silaturahmi yang sempat renggang. Sejak sebelum Idulfitri tahun lalu, kami tak saling bertatap muka dan berbagi kabar.
Ternyata, Rani tidak kalah malang. Setahun lamanya, ia dan sang ibu hidup dengan mengencangkan ikat pinggang.Â
Sejak sang suami mendapat PHK massal dari pekerjaannya di lahan kebun sawit, seluruh tabungan harus terkuras. Bahkan Rani harus menjual satu demi satu perhiasan emas sampai tak lagi bersisa.
Di meja tamu, tak satu pun tersedia sajian kue lebaran. Apalagi tape ketan andalan mereka. Padahal kudapan ini sudah saya bayangkan sejak dari rumah.Â
Apa boleh buat, kali ini sang ibu hanya bisa menyuguhkan teh hambar (teh encer) serta sepiring kue cincin ala kadarnya.
Singkat cerita, setiap tiga bulan sekali, Asih meminjam uang kepada Rani untuk keperluan menyambung listrik yang di cut perusahaan listrik (PLN).Â
Saudara dan kerabat Deni dan Asih, sudah muak dan memutuskan tidak akan membantu masalah keuangan mereka lagi. Manajemen keuangan pasangan ini sangat kacau.
"Sejak ojek online mengalami sepi job, Deni pun menganggur total. Asih lah yang dipaksa meminjam uang sana-sini. Setelah mendapat pinjaman, mereka makan nasi padang atau bebek goreng di rumahnya, tak pernah masak sendiri seperti kita ini..." demikian Rani menuturkan.
Informasi 2
Menjelang sore, saya menyempatkan mampir ke rumah Sonia yang rumahnya tak jauh dari rumah Asih dan Rani.
"Ibunya Asih meninggal, semalam, Kak."
"Ya, saya tahu dari postingan teman fb."Â
"Apa Asih pernah datang ke rumah untuk pinjam uang?" katanya lagi.
Menurut Sonia, belakangan ini Asih menjadi sangat "populer". Sudah banyak warga yang diminta bantuan olehnya.Â
Sebuah warung makan tak jauh dari sini, sempat memanggil Asih membantu di dapur, untuk meringankan bebannya. Ajakan lainnya, berasal dari usaha rumahan yang memproduksi kripik usus. Namun keduanya ditolak begitu saja.
Hmm, pantas saja saat saya menawarkan lowongan pekerjaan, Asih menolak dengan alasan kasihan pada si bungsu.Â
Rupanya ia lebih mendengarkan larangan suaminya, dan memilih menambah daftar hutang pada warga.
Hutang pun melilit leher
Sahabat Kompasianer, di masa pandemi ini, berhutang sudah menjadi solusi sementara mereka yang terdesak atau membutuhkan dana cepat. Tetapi harus dengan perhitungan tepat dan kesungguhan untuk membayar sesuai tempo yang disepakati.
Asih, ternyata sudah terjerat 5 kelompok koperasi (pinjaman berbunga) serupa rentenir. Artinya saat ini Asih dan Deni wajib setor dana pengembalian kepada lima tim penagih, setiap harinya. Pantas saja selama berminggu-minggu mereka mengosongkan rumah, berada dalam pelarian sambil membawa-bawa pakaian kotor.
Yang membuat saya trenyuh, ibunda Asih pergi selama-lamanya setelah menyaksikan kehidupan anaknya yang sedemikian. Hatinya pasti sedih dan hancur.
Seorang ibu, belum merasa lega sebelum melihat anaknya hidup bahagia. Mungkin di dalam doa-doanya, seorang ibu membanjiri sajadahnya dengan air mata, memohon Allah swt berkenan mengangkat kesusahan yang menghampiri kehidupan anaknya.
Lazimnya, seorang ibu mengutamakan kebahagiaan anak-anaknya. Mereka tak meminta hidup yang mewah. Mereka hanya ingin melihat anak dan cucunya cukup makan dan hidup dengan tenang.
Apalagi, dulu ibunda membesarkan Asih seorang diri. Pekerjaan sebagai buruh cuci telah berhasil juga membiayai sampai Asih menamatkan sekolah aliyah (setingkat SMU). Sementara ayahnya menikah dengan wanita lain sejak Asih masih kecil.
Mungkinkah Asih merindukan kasih sayang sang ayah. Sampai-sampai ia begitu rela menuruti kata-kata Deni, sang suami. Kini ia kurus kering dan hutang bertumpuk melilit leher.
Sudut mata ini kembali menitikkan keharuan. Di hari kemenangan, seorang ibu harus pergi membawa beribu-ribu kesedihan.
Betapa besar tanggung jawab seorang anak yang telah menikah. Ia dan pasangannya harus menciptakan hal-hal seperti berikut:
1. sebuah rumah tangga yang mandiri
2. mencukupi kebutuhan anak-anak di masa sekarang dan masa depan
3. memperhatikan dan menyantuni orang tua
4. memperhatikan kesehatan orang tua
5 . menjaga kebahagiaan hati orang tua, jangan memberikan tekanan batin
Semoga Allah swt mengganti kesedihan ibunda Asih dengan kebahagiaan, di sana. Semoga kisah ini menjadi pengingat diri, aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H