Seorang tua, duduk di kursi kayu, teras rumah bapak. Kulit tangannya yang putih, menambah kesan pucat pada wajah. Di balik pet topi yang menyembunyikan rambut ubannya, ia tersenyum kepadaku, memperlihatkan gigi-giginya yang utuh dan rapi.
Kami memanggilnya Pak Luke, suami Bu Emma. Keduanya, sahabat ibu bapak. Dua tahun setelah ibu berpulang, beliau masih sering hadir. Kali ini untuk mengunjungi bapak, meskipun masih ingin bercengkerama dengan ibu juga.
"Bagaimana keadaan anak-anakmu?" suara tuanya bertanya.
Dari suamiku, aku sudah tahu ia mempunyai rasa peduli terhadap anak-anakku, karena mereka perempuan semua.
"Anak-anak baik-baik, Pak. Terima kasih atas bantuannya," kataku agak sungkan, karena seminggu lebih lupa berterima kasih sekedar via telepon. Â Pak Luke telah memberikan tv berukuran besar, saat pindah ke rumah barunya.
"Oo... tujuan saya, supaya anak-anakmu tidak berkeliaran."
"Atau tidak menonton tv di rumah tetangga. Kasian tidak ada yang mengontrol tontonan yang mereka lihat."
"Oh, anak-anak saya tidak pernah kedua-duanya itu, Pak," buru-buru aku menyanggah.
Kira-kira itulah sifat kolotku sebagai ibu. Aku teramat kaku untuk bisa membiarkan anak-anakku menikmati dunianya yang bebas. Aku hanya memberi radius dua puluh meter dari rumah, untuk mereka bermain. Jarak segitu masih terdengar oleh telinga, apakah mereka baik-baik saja, masih tertangkap oleh mata, apakah mereka aman terkendali.
Aku ini ibu yang lebay. Selalu mengkhawatirkan, anak-anakku didorong oleh temannya hingga jatuh, saat betmain. Atau mempelajari cara teman-temannya bermain dengan berteriak menjerit histeris.