Sudah dua hari, Lily tak mengamen. Bukan karena cuaca hujan yang membuat dia terhalangi, tapi karena cowok itu.
Alan, si bawel itu, komplen juga soal rambut pirangnya yang baru. Padahal dengan susah-payah ia menabung untuk bisa membeli pewarna kualitas baik.
"Ngga akan ada yang kasih kita uang receh lagi, kalau dandananmu mirip bule..."Â
Sesaat Lily memang tertegun. Perkataan  rekan seprofesi-nya ini, ada benarnya juga.Â
Bola matanya yang indah, ditambah sepasang bibir mungil, tak akan membuat orang bersimpati. Tapi yang Lily tak suka, nada bicara yang kasar seolah dia ini adiknya!
Matahari mulai meninggi, saat Lily mengingat semua itu.
Telunjuknya berlarian di layar ponsel, namun pikirannya hilang fokus. Ia sedang mencari lowongan pekerjaan, mengecek DM yang sejak lama dia kirimkan ke beberapa agen foto.Â
*
Malam itu, bulan membulat seperti sedang gembira. Lily melihat cahaya emasnya berjatuhan di atap-atap bangunan. Menimpa bunga mawar yang tumbuh di pelataran loteng. Warna merahnya tampak istimewa.Â
Sekalipun kumuh, rusun yang ditempati gadis gitar, masih dihiasi bunga-bunga juga.
Rosalinda lah, yang kerap menanamnya. Padahal pekerjaannya di sebuah katering, cukup menyita waktu. Tak percuma namanya mengambil nama bunga, Lily membatin.
"Hai!" sebuah suara mengagetkannya.
Cowok jangkung berambut ikal itu, datang tanpa benda kesayangannya. Aneh memang. Tapi nanti saja Lily bertanya.
"Kau sakit? Tunggu, kelihatannya bohong..."
"Lalu kenapa libur??"
Alan memang seperti itu. Bertanya lalu menjawab sendiri. Sungguh konyol.
"Kau marah??"
Sebenarnya Lily suka pada Alan. Sedikit-sedikit memperhatikannya.
Di dunia ini, berapa orang sih, yang bisa sayang padanya? Dia hanya orang miskin yang masih saja ngamen. Sudah dari kecil hingga usianya sekarang enam belas tahun.
Kalau menilik sejarah kelahirannya, Lily suka tak percaya diri. Ibunya melahirkannya tanpa seorang suami. Atau ia lahir tanpa seorang ayah. Jika bukan karena ini, mungkin saja nasibnya akan lebih beruntung.
Tiba-tiba cowok bawel itu sudah merangkul bahunya.
"Sorry," katanya.
Lily berusaha melepaskan rangkulan yang sebenarnya dia sukai. Dia tak mau Alan terbiasa. Biarlah bintang-bintang di hatinya, hanya dia sendiri yang tahu.
"Dasar konyol..." balasnya sambil memonyongkan bibir.
Tangannya lalu sibuk membuka sebuah riwayat panggilan berdurasi tiga menit.
"Siapa orang itu?" selidik Alan cemburu. Jantungnya seperti berlompatan.
*
Enam bulan sudah, sejak pertemuan terakhirnya. Lily kangen cowok jangkung itu. Cuma sekali, mereka pernah video call. Itu pun tak lama. Kuotanya mendadak sampai ujung.
Lily memandang kost petak kecil nomer tiga. Matanya mencari-cari tanda kalau Alan masih tinggal di sini. Sepatu jelek, jemuran baju atau bungkus rokok yang dilemparkan keluar pintu. Tapi nihil.
Bagi Lily, jarum jam melaju kencang, sekarang. Hari-harinya berlalu secepat blitz kamera foto. Jika Tuhan sudah berkehendak, siapa bisa menghentikan?
Bukan dompetnya saja yang penuh, sekarang. Tapi jumlah dalam rekeningnya terus bertambah.Â
Seandainya Alan tahu, ia mengecat pirang rambutnya waktu itu, karena ingin tampil trendy. Ia akan mengirimkan foto-foto kerennya. Bahkan mengikuti seleksi.
Lily sayang pada Alan. Apalagi sekarang sudah genap setahun mereka tak bertemu, sejak dirinya menjadi model dengan julukan gadis gitar.
*
Di sisi jendela apartemennya, Lily mencari-cari wajah bulan. Hanya gelap yang memerangkap gedung-gedung.
Beginikah rasanya menjadi terkenal?Â
Ia sudah kehilangan cowok jangkung itu, yang dulu memperhatikannya.
Lily menatap gambar-gambar dirinya di layar laptop. Cantik, keren, proporsional. Dia sangat berbeda dengan yang dulu. Jika pamornya tak turun, ia akan segera membayar setengah harga hunian yang masih menunggu.
*
"Alan! Hei...." Lily berteriak memanggil sosok di seberang jalan.Â
Cowok dimaksud menoleh, dan sempat menatap lama sebelum mendekati.
"Kau??" Alan bengong.
"Iya, ini aku."
"Aku mencarimu ke mana-mana, sampai sakit mata ini mengawasi perempatan. Di kosan, bahkan di setiap tempat mangkal. Dasar kau jelek!"
Wajah Alan menunduk.Â
Lily mungkin tak tahu ia begitu kecewa. Gadis gitar itu tak pernah memberitahu dirinya. Tiba-tiba ia pindah haluan dan jadi terkenal.
Lily telah mengabaikannya, dan juga meninggalkannya. Lalu untuk apa, menyimpan cinta yang tak berbalas.
Alan tak akan mengatakan kalau ia sudah menjadi milik orang lain, sekarang. Gadis gitar itu bisa bunuh diri. Ia tahu Lily sebenarnya menyayanginya juga.
"Alan! Hei..."
Baru saja Lily mau membuka pintu, supir agency mencegahnya.
Mobil yang mereka tumpangi meluncur menembus jalan-jalan ibu kota. Wajah cantik Lily berubah muram.Â
Ketika rasa kangen itu bisa dicairkan, mengapa Alan justru berlari dan meninggalkannya?
Tangisnya terus turun, penuh lara.
Seseorang, seringkali lupa yang sudah dilakukannya di masa lalu.
SELESAI
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI