"Sorry," katanya.
Lily berusaha melepaskan rangkulan yang sebenarnya dia sukai. Dia tak mau Alan terbiasa. Biarlah bintang-bintang di hatinya, hanya dia sendiri yang tahu.
"Dasar konyol..." balasnya sambil memonyongkan bibir.
Tangannya lalu sibuk membuka sebuah riwayat panggilan berdurasi tiga menit.
"Siapa orang itu?" selidik Alan cemburu. Jantungnya seperti berlompatan.
*
Enam bulan sudah, sejak pertemuan terakhirnya. Lily kangen cowok jangkung itu. Cuma sekali, mereka pernah video call. Itu pun tak lama. Kuotanya mendadak sampai ujung.
Lily memandang kost petak kecil nomer tiga. Matanya mencari-cari tanda kalau Alan masih tinggal di sini. Sepatu jelek, jemuran baju atau bungkus rokok yang dilemparkan keluar pintu. Tapi nihil.
Bagi Lily, jarum jam melaju kencang, sekarang. Hari-harinya berlalu secepat blitz kamera foto. Jika Tuhan sudah berkehendak, siapa bisa menghentikan?
Bukan dompetnya saja yang penuh, sekarang. Tapi jumlah dalam rekeningnya terus bertambah.Â
Seandainya Alan tahu, ia mengecat pirang rambutnya waktu itu, karena ingin tampil trendy. Ia akan mengirimkan foto-foto kerennya. Bahkan mengikuti seleksi.