Perempuan yang dipanggil Aluh itu berdiri di ambang jendela rumah ulin bercita rasa etnik. Jari-jari tangannya yang berkerut, menyentuh kusen kayu Bengkirai.
Rasanya kasih sayang untuk suaminya tak pernah berkurang. Sejak ia masih belia saat menjadi istri. Rasa sayang dan hormat selalu ia pupuk hari demi hari. Pernikahan melalui jalan perjodohan tak menjadi alasannya untuk tak setia.
Tapi siapa yang percaya?Â
Hakim, suaminya, belakangan malah selalu mencemburuinya. Sejak anak-anak mereka berangkat remaja dan keuangan mereka membaik. Hakim justru sering menyindir bedaknya terlalu tebal, hijabnya terlalu menarik. Dan entah apa lagi.
Setiap rumah tangga pastilah punya batu sandungannya. Duri-duri kecil mungkin saja merobek hati orang yang saling mencinta. Kerikil-kerikil semacam itu, Aluh sudah biasa menghadapinya. Selama dua puluh tahun ia berhasil menahan sabar.
Aluh lega, hanya Allah tempatnya mengadu. Bahkan anak-anaknya pun tak tahu kalau ia menderita. Ia menyembunyikan rapat-rapat segala sikap tidak baik suaminya. Anak-anak harus menghormati Abah (ayah) mereka. Itu harga mati baginya.
Aluh semakin khusyuk dalam sholatnya. Terkadang ia menitikkan air mata seraya memanjatkan doa. Tudingan sang suami terasa amat menghina perempuan seperti dirinya. Tentang perbuatan selingkuh yang tak mungkin dilakukannya.Â
Apakah ia akan mencoreng wajah anak-anaknya denga rasa malu? Lalu demi apa, ia tega melakukan perbuatan rendah semacam itu? Laki-laki baik mana yang bisa membuatnya bahagia atau apalah...
Astagfirullahal adziim...
Aluh mengusap wajahnya, mirip orang mengakhiri doa. Lalu beranjak duduk di kursi rotan.
Ia menyeruput teh hangat beraroma melati. Rasa segar mengalir ke ubun-ubun kepalanya. Sedikit mengusir kenangan yang tak enak di masa lalu.
Korden putih di pintu kamarnya bergoyang. Siti sang keponakan yang beberapa lama ini membantunya, masuk dengan baki kecil berisi roti panggang.
Aluh tersenyum melihat gadis muda itu. Siapa lagi yang merawatnya, sementara anak-anaknya sudah sibuk dengan rumah tangga mereka masing-masing.
"Su'... jangan kada ingat lah, Nanang handak tulak jam sepuluh... Busu' pakai baju nang hanyar ditukarkan Nanang haja, gin..."
(Bi, jangan lupa Paman ingin pergi jam sepuluh, yaa. Bibi gunakan gamis baru yang Paman belikan saja...)
Selesai berkata begitu, Siti meninggalkan Aluh yang hanya tersenyum mengangguk. Biasanya ia akan langsung memasak di dapur. Tugas-tugasnya akan selesai sebelum jam makan siang.
Perempuan itu tak membuang-buang waktu. Ia takut suaminya yang pencemburu itu menegurnya. Segera dikulumnya roti di baki kecil. Nikmat selagi hangat.
Ia memang masih sangat muda saat dipinang keluarga suaminya. Masih tujuh belas tahun. Tapi ia belajar bahwa mematuhi suami itu akan mendatangkan keberkahan.Â
Lihat saja, sejak anak-anak mereka memasuki masa pubertasnya, suaminya malah melarangnya ini dan itu. Kalau dibilang takut Aluh kelihatan cantik lalu digaet orang, rasanya kurang pas.Â
Tapi suaminya malah berdalih laki-laki justru lebih suka perempuan yang mulai menua. Gejolak birahi mereka semakin membuat tertantang. Apalagi istri orang. Tak perlu repot-repot menafkahi. Kalau bosan, langsung ditinggal pergi.
Harga diri Aluh terinjak seketika. Matanya berubah menjadi danau. Apalagi usaha untuk meyakinkan Hakim hanya sia-sia. Apa daya ia tak mau meminta cerai hanya karena masalah ini. Rezeki mereka sedang naik. Anak-anaknya masih butuh biaya dan juga kehadiran Abah mereka.
Sejak kali itu, Hakim jadi lebih sering mengantarnya kemana pun. Aluh tak lagi dibiarkan bepergian seorang diri sekalipun ke pasar. Perempuan itu juga tak boleh memakai bedak dan lipstik saat keluar rumah, sekalipun tipis-tipis.
Kabar baiknya adalah, Hakim sering membelikannya barang-barang kebutuhannya. Tidak hanya gamis putih dan sepatu, tapi juga perhiasan. Seakan-akan ia ingin dibuat bahagia dengan semua itu.
Aluh terkesiap, sudah jam sembilan kurang lima.Â
Ia segera menuntaskan teh melati nya, lalu menyambar handuknya dan masuk kamar mandi. Suaminya tak pernah salah mengenai waktu. Sangat tepat waktu.Â
***
Angin sore membelai wajah perempuan di teras. Wajah yang biasanya muram, akhir-akhir ini berbinar. Aluh bukan tak menyadari perubahan dirinya.
Tapi Hakim tampak biasa saja. Setelah dua puluh tahun memperlakukannya bak burung dalam sangkar emas, mungkin suaminya kini percaya. Percaya bahwa istrinya hanya mencintai dirinya seorang. Percaya bahwa tak pernah ada orang ketiga dalam biduk mereka. Hanyalah mereka berdua di sana.
Masa mudanya telah dipersembahkan untuk lelaki pemilik CV. HUDAYA. Sebuah perusahaan penyedia alat-alat berat untuk proyek tambang batubara dan lainnya.
Aluh dan sang suami pun baru saja melewati hari jadi pernikahan mereka ke-33. Sebuah cincin bermata intan murni melingkar anggun di jarinya yang berkerut. Berkilauan ditimpa matahari sore, kala itu.
"Misi lah, Julak Aluh...Â
(Permisi, Ibu Aluh...)" sapa seorang lelaki muda yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya.
Namanya Erwan Saleh, keturunan negeri jiran sana yang lama menetap di Jakarta.
Saat Hakim mencari kepala pelaksana yang baru, ditemukanlah anak muda nan sopan lagi sholeh ini. Suaranya melantunkan ayat-ayat al qur'an sangat indah dan merdu. Setidaknya itulah yang Aluh tahu.
Menurut suaminya, kalau saja si bungsu belum menemukan jodoh, Erwan inilah yang akan dijadikannya menantu. Orangnya jujur dan cerdas. Dari Jakarta, rela mutasi ke daerah memenuhi panggilan kerja darinya. Padahal di kota metropolitan segalanya tersedia. Tapi ia memilih kota kecil ini.
"Julak Aluh, garing? tegur lelaki berkemeja biru navy dan berkaca mata ini, mengagetkannya.
(Ibu Aluh, kurang sehat?)Â
"Duduk sini, Er..."Â
(mari duduk, Nak Erwan...)Â
Perempuan itu tidak bisa bohong. Ada rona kegembiraan di hatinya saat ini. Seakan ia kembali muda, begitu tersanjung dengan harapan yang datang.
Lelaki muda itu mengambil tempat di kursi rotan di seberang tempatnya duduk. Aroma parfum paling lembut menguar memesona indera penciuman Aluh.
"Julak Bos tadi pesan, ulun disuruh meambilkan duit gasan Pian, di ATM. Wan disuruh nukarkan bubur ayam..."Â
(Pak Bos tadi berpesan, saya diminta ambilkan uang di ATM untuk Anda, serta membelikan bubur ayam...)
Erwan menyerahkan amplop putih ke dekat tangan perempuan itu. Dengan cekatan ia juga menyiapkan bubur ayam yang baru dibelinya. Sendok, kerupuk, jeruk nipis, sambal dan air putih. Perempuan itu menatapnya terkesima.
"Makasih lah, Er... Kam baik banar..."Â
(terima kasih yaa, Nak Erwan... Anda baik sekali...)
Lelaki muda itu, mengangguk seraya mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
"Maaf Julak Aluh, ulun pamit handak nelpon ustadz Anwar. Isuk Isra' mi'raj... Ulun panitia di mesjid Ar Rahman..."Â
(Maaf Bu Aluh, saya pamit mau menghubungi ustadz Anwar. Esok hari besar Isra' mi'raj... Saya panitia di mesjid Ar Rahman...)
Erwan Saleh pun berlalu. Perempuan itu sebenarnya ingin mencegah. Ia lebih suka lelaki itu menghiasi matanya. Makan bubur ayam seorang diri, rasanya begitu hambar.
Hidup ini aneh, pikir perempuan itu. Sudah tiga tahun Erwan bekerja pada suaminya. Sampai-sampai lelaki itu lancar dengan bahasa daerah mereka. Selama itu pula ia merasa biasa saja.
Tapi ada yang membuncah di hatinya belakangan ini. Sejak lelaki itu tiba-tiba hadir dalam mimpi tidurnya.
Kini ada rahasia dalam hidupnya, yang tak boleh diketahui sang suami.
Tapi ia tak boleh begini, bisik perempuan itu sadar.Â
Dua puluh tahun telah ditahannya, untuk mendapatkan rumah tangga yang panjang seperti sekarang.
Segala tekanan batin, hanya diadukannya dalam doa di tengah malam.Â
Bukankah Hakim telah yakin kasih sayangnya tak pernah berkurang selama ini, dan menganggap tidak ada orang ketiga dalam biduk mereka?
Matahari hampir terbenam, saat mobil sang suami memasuki halaman. Perempuan itu berdiri menghampiri, dan menyambut dengan senyuman terbaiknya. Cinta yang sesungguhnya. SELESAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H