Menurut suaminya, kalau saja si bungsu belum menemukan jodoh, Erwan inilah yang akan dijadikannya menantu. Orangnya jujur dan cerdas. Dari Jakarta, rela mutasi ke daerah memenuhi panggilan kerja darinya. Padahal di kota metropolitan segalanya tersedia. Tapi ia memilih kota kecil ini.
"Julak Aluh, garing? tegur lelaki berkemeja biru navy dan berkaca mata ini, mengagetkannya.
(Ibu Aluh, kurang sehat?)Â
"Duduk sini, Er..."Â
(mari duduk, Nak Erwan...)Â
Perempuan itu tidak bisa bohong. Ada rona kegembiraan di hatinya saat ini. Seakan ia kembali muda, begitu tersanjung dengan harapan yang datang.
Lelaki muda itu mengambil tempat di kursi rotan di seberang tempatnya duduk. Aroma parfum paling lembut menguar memesona indera penciuman Aluh.
"Julak Bos tadi pesan, ulun disuruh meambilkan duit gasan Pian, di ATM. Wan disuruh nukarkan bubur ayam..."Â
(Pak Bos tadi berpesan, saya diminta ambilkan uang di ATM untuk Anda, serta membelikan bubur ayam...)
Erwan menyerahkan amplop putih ke dekat tangan perempuan itu. Dengan cekatan ia juga menyiapkan bubur ayam yang baru dibelinya. Sendok, kerupuk, jeruk nipis, sambal dan air putih. Perempuan itu menatapnya terkesima.
"Makasih lah, Er... Kam baik banar..."Â
(terima kasih yaa, Nak Erwan... Anda baik sekali...)
Lelaki muda itu, mengangguk seraya mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
"Maaf Julak Aluh, ulun pamit handak nelpon ustadz Anwar. Isuk Isra' mi'raj... Ulun panitia di mesjid Ar Rahman..."Â
(Maaf Bu Aluh, saya pamit mau menghubungi ustadz Anwar. Esok hari besar Isra' mi'raj... Saya panitia di mesjid Ar Rahman...)
Erwan Saleh pun berlalu. Perempuan itu sebenarnya ingin mencegah. Ia lebih suka lelaki itu menghiasi matanya. Makan bubur ayam seorang diri, rasanya begitu hambar.