Aluh terkesiap, sudah jam sembilan kurang lima.Â
Ia segera menuntaskan teh melati nya, lalu menyambar handuknya dan masuk kamar mandi. Suaminya tak pernah salah mengenai waktu. Sangat tepat waktu.Â
***
Angin sore membelai wajah perempuan di teras. Wajah yang biasanya muram, akhir-akhir ini berbinar. Aluh bukan tak menyadari perubahan dirinya.
Tapi Hakim tampak biasa saja. Setelah dua puluh tahun memperlakukannya bak burung dalam sangkar emas, mungkin suaminya kini percaya. Percaya bahwa istrinya hanya mencintai dirinya seorang. Percaya bahwa tak pernah ada orang ketiga dalam biduk mereka. Hanyalah mereka berdua di sana.
Masa mudanya telah dipersembahkan untuk lelaki pemilik CV. HUDAYA. Sebuah perusahaan penyedia alat-alat berat untuk proyek tambang batubara dan lainnya.
Aluh dan sang suami pun baru saja melewati hari jadi pernikahan mereka ke-33. Sebuah cincin bermata intan murni melingkar anggun di jarinya yang berkerut. Berkilauan ditimpa matahari sore, kala itu.
"Misi lah, Julak Aluh...Â
(Permisi, Ibu Aluh...)" sapa seorang lelaki muda yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya.
Namanya Erwan Saleh, keturunan negeri jiran sana yang lama menetap di Jakarta.
Saat Hakim mencari kepala pelaksana yang baru, ditemukanlah anak muda nan sopan lagi sholeh ini. Suaranya melantunkan ayat-ayat al qur'an sangat indah dan merdu. Setidaknya itulah yang Aluh tahu.