Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat untuk 2021

31 Desember 2020   10:00 Diperbarui: 31 Desember 2020   18:54 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang ibu muda dengan dua anak, bersandar lesu sejak tadi. Aku memarkirkan motorku, membuatnya mendongak, dengan seulas senyum pahit.

Dinding kios kayu yang disewa mama Rido, begitu ia disapa, seakan mendapat keberuntungan. Hampir setiap hari aku mampir, setiap kali itu pula ia tampak mencurahkan kegundahannya di sana. Dengan cat abu-abu yang kusam, serasi dengan seraut wajah nan putih mulus tetapi diselimuti duka.

Bukan duka karena kematian orang-orang yang dicintai, tetapi karena roda pedati kehidupan rumah tangganya yang mandeg.

Aku mengenalnya belum lama, sejak anakku pindah ke sekolah tempat ia menjaga salah satu kantin. Kami sekeluarga boyongan pulang ke kampung halaman, karena ibu sakit.

"Mau kemana, Bu..." sapanya sambil mendudukkan balitanya yang baru tiga tahun. Gadis kecil itu bermain kesana-kemaei sampai tangan, kaki dan pakaiannya kotor. Sewaktu di kantin dulu, di tangannya berganti-ganti cemilan khas anak-anak.

"Mau belanja sayur-mayur, mbak. Mampir mau makan pisang goreng dulu..."

"Oh, iya, berapa?"

"Sepuluh ribu..."

Lalu tangannya cekatan memasukkan sepuluh pisang goreng kipas ke dalam bungkus plastik, lengkap dengan sedikit sambel petes. Khas daerah kampung sini.

"Biasanya sedia nasi kuning, mbak?" tanyaku iseng. Kami memang sering mengobrol.

"Ngga ada modalnya Bu, bapak Rido ngga kerja, pandemi begini karyawan banyak yang dikurangi..."

Aku mengangguk-angguk. Rupanya ini yang sering membuatnya gundah dan bersandar pada dinding abu-abu kusam.

"Ngga mencoba kerja serabutan?"

"Susah Bu, suami saya tua, ngga ada yang mau ngajak kerja..."

Hampir aku tergelitik. Ayah Rido memang terpaut usia sekitar dua puluh tahun dengan istrinya. Entah bagaimana keduanya berjodoh. Mungkin sudah suratan.

"Bapak, masih kerja?"

Yang ia maksud adalah suamiku. Aku mengangguk saja tanpa mau banyak kata.

"Kapan Bu, covid ini pergi?"

"Kalau semua sudah normal, sekolah sudah aktif lagi, saya mengandalkan pemasukan dari kantin. Lumayan buat bayar sewa rumah dan makan..."

Sesaat matanya berbinar, mengingat masa-masa murid-murid SD ramai belanja di kantinnya. Sebenarnya ada tujuh pilihan,  tapi kantin mama Rido yang paling ramai.

Sebelum berpamitan, aku menyelipkan sejumlah uang ke tangan gadis kecilnya yang sudah sibuk bermain lagi. Antara malu dan senang, tersirat dari wajah ibu muda ini.

Malamnya, selepas sholat isya suamiku pamit ke rumah bos. Ada urusan yang mau dibicarakan, katanya. Sepulang nanti baru menikmati makan malam.

Aku mengangguk saja, melepasnya di ambang pintu yang mulai dingin oleh tiupan angin.

Untuk bos seperti Pak Ucek, bertukar pikiran soal pekerjaan dengan suamiku, menjadi hal yang disenanginya. Setidaknya itu yang pernah beliau sampaikan langsung.

Sekilas kulihat anak-anakku larut dalam kegiatannya. Sang adik tengah duduk sambil memeluk boneka Choko, di sebelah kakaknya yang sedang membaca cerita rakyat nusantara.

Aku terus saja membaringkan diri di kamar, dengan selembar kertas dan alat tulis.

Perasaanku berkecamuk tak tentu. 

Bukan hanya satu-dua kasus terdampak pandemi yang menyayat relung hatiku. Bahkan salah satu teman dilarikan ke rumah sakit. Dokter mendiagnosa stroke ringan dengan pembekuan darah di otak. Padahal ia masih tiga puluh tahun.

Di saat keadaannya membaik, teman ini bercerita bagaimana ia stres memikirkan cicilan properti dan mobil yang berjalan sekaligus, sementara bonus dan pekerjaan sampingan suaminya hilang bersama datangnya wabah covid 19.  Tersisa gaji pokok yang tak seberapa dan sulit dibagi-bagi.

Bismillah, aku mulai menulis.

Dear tahun 2021 yang kami tunggu,

Katakan saja engkau akan menerima surat ini, ketahuilah aku menulisnya sebagai doa dan harapanku padamu. Maka tolong bacalah.

Aku tak mempunyai masalah saat ini untuk kupikirkan. Tapi aku tak akan bernafas dengan lega, sebelum engkau benar-benar datang dan menunjukkan wajah yang cerah.

Aku seorang wanita yang menjaga anak dan suamiku dari segala duka, setidaknya aku tak pernah mengeluh kekurangan dan sedih. 

Tapi aku tak bisa mencegah duka menyiksaku beberapa lama ini. Tidak lain karena kehadiran wabah yang melanda seluruh dunia. 

Kami mencatatnya dengan jelas pada bulan Pebruari. Sejak itu seluruh sekolah, kantor, dan tempat ramai menjadi seperti mati. Seperti matinya sejumlah besar usaha termasuk milik kaum kecil yang mengharapkan recehan belaka.

Wahai tahun 2021 yang sudah mulai tercium aroma kedatangannya, walau tanpa penjaja terompet seperti waktu-waktu sebelumnya...

Jika engkau bertanya kepadaku tentang harapan yang kami inginkan di tahun mendatang, tidak lain adalah ampunan Allah swt untuk kami para manusia yang mungkin terlalu banyak salah dan lupa bersyukur. Sekedar mensyukuri udara bersih yang dilimpahkan tanpa berbayar. Kecuali kepatuhan kepada segala aturanNya.

Semoga dengan ampunan itu, roda pedati kami berputar lagi. Segala usaha mencari nafkah berjalan kembali. Senyum para pedagang tersungging. Tawa ceria anak-anak mewarnai taman bermain dan sekolah. Rumah sakit tak seperti planet dengan kostum pelindung diri bak astronot. Prosesi pemakaman tak lagi mengerikan dengan protokol aneh yang tak pernah sebelumnya.

Ya Allah, di sisa tahun ini hamba berdoa  kepada Engkau pemilik alam semesta dengan pusat kendalinya berada di tanganMu, mohon ampuni kami. Kami adalah makhluk yang menyebalkan bagi malaikat, karena sombong dan zholim. Kami hanyalah titik di hadapan arsy-Mu, tapi selalu menjadi penguasa sesama dan bumi ini.

Ya Allah, lindungilah bangsa kami, lindungilah keluarga kami, guru-guru kami, para sahabat, termasuk sahabat Kompasioner serta semua orang tanpa kecuali, mama Rido-mama Rido di luar sana, dari buruknya wabah ini. Semoga Indonesia segera pulih dan bangkit, bersama berkarya lagi.

Robbanaa aatinaa fid dunyaa hasanataw, wa fil aakhiroti hasanataw  wa qinaa 'adzaaban naar.

Aamiin

Aku menyeka embun di sudut mataku, melipat selembar kertas putih di tanganku, dan menyelipkannya di bawah lipatan pakaian di lemari. Kelak, cerita seperti ini mungkin terbaca anak cucu sebagai sejarah. Mungkin saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun