Aku mengangguk saja, melepasnya di ambang pintu yang mulai dingin oleh tiupan angin.
Untuk bos seperti Pak Ucek, bertukar pikiran soal pekerjaan dengan suamiku, menjadi hal yang disenanginya. Setidaknya itu yang pernah beliau sampaikan langsung.
Sekilas kulihat anak-anakku larut dalam kegiatannya. Sang adik tengah duduk sambil memeluk boneka Choko, di sebelah kakaknya yang sedang membaca cerita rakyat nusantara.
Aku terus saja membaringkan diri di kamar, dengan selembar kertas dan alat tulis.
Perasaanku berkecamuk tak tentu.Â
Bukan hanya satu-dua kasus terdampak pandemi yang menyayat relung hatiku. Bahkan salah satu teman dilarikan ke rumah sakit. Dokter mendiagnosa stroke ringan dengan pembekuan darah di otak. Padahal ia masih tiga puluh tahun.
Di saat keadaannya membaik, teman ini bercerita bagaimana ia stres memikirkan cicilan properti dan mobil yang berjalan sekaligus, sementara bonus dan pekerjaan sampingan suaminya hilang bersama datangnya wabah covid 19. Â Tersisa gaji pokok yang tak seberapa dan sulit dibagi-bagi.
Bismillah, aku mulai menulis.
Dear tahun 2021 yang kami tunggu,
Katakan saja engkau akan menerima surat ini, ketahuilah aku menulisnya sebagai doa dan harapanku padamu. Maka tolong bacalah.
Aku tak mempunyai masalah saat ini untuk kupikirkan. Tapi aku tak akan bernafas dengan lega, sebelum engkau benar-benar datang dan menunjukkan wajah yang cerah.