Aku suka menjadi kekasihmu. Dan rasanya semua gadis yang mengenalmu pun, bermimpi bisa berada di posisiku. Mungkin kalimat gampangnya, nasibku sungguh beruntung.
Tepat tanggal 20 bulan Januari tahun 2019 atau 20 01 2019 kita melangsungkan pernikahan. Tak kupungkiri aku sungguh tersipu saat kau katakan ini adalah tanggal cantik.Â
Aku juga boleh memilih gaun yang kusukai untuk kukenakan. Ada tiga pilihan warna sesuai ukuran tubuhku yang cenderung mungil. Putih, pink, dan terakhir coklat emas. Semua anggun dan modelnya sangat memukau.
Kalau ada yang tidak klik seratus persen dengan keadaanku, mungkin ibumu. Beliau bukan tak setuju, tetapi lebih mengharapkan pendamping hidupmu adalah seorang wanita yang bekerja untuk negara, misal guru, polwan, atau pegawai kantor administrasi. Sementara aku hanyalah seorang pembuat kerupuk mentah, dengan tenaga bantu dua orang saja.
Engkaulah pangeran yang bukan saja ganteng, tetapi juga pandai mengambil hati ibumu dan meyakinkan bahwa aku adalah satu-satunya gadis baik yang kau yakini kelak akan menjadi ibu dari anak-anakmu. Bukan main. Aku bukan saja merasa tersanjung, tapi aku juga sangat bahagia.
Dalam rumah tangga kita, engkaulah yang banyak memberikan rencana dan kejutan. Sementara aku hanya bisa menampilkan pipi bersemu merah.
Pada bulan kedua pernikahan, sepulang dari bekerja tiba-tiba engkau menyerahkan berkas kredit dari developer ternama.Â
Antara senang dan tak percaya, aku terperangah melihat brosur unit yang kau pilih, dengan besar cicilan per bulannya.Â
Aku tak tau harus bilang apa. Aku hanya bisa membalas pelukanmu dan berucap terima kasih dengan nada yang hambar.
Di rumah yang baru, engkau pula yang banyak berinisiatif mempercantik dinding dengan warna cerah, sementara usulanku untuk memilih cat warna putih, tak kau terima.Â
Baiklah tidak masalah. Aku mengerti engkau melakukan semua ini untuk kita. Untuk aku juga.
Rasanya waktu berjalan cepat.Â
Segala sesuatu yang indah dan menyenangkan, memang seringkali berlalu seperti tiupan angin. Tiba-tiba saja kita sudah sampai pada anniversary yang pertama.Â
Dan sebagai istri yang tak pernah babibu minta ini-itu padamu, lagi-lagi aku terkaget dengan hadiah dalam kotak kecil, sebuah kunci mobil!
Aku ternganga, terdiam seperti orang hilang ingatan. Aku sedih dengan segala tindakan yang kau ambil, tanpa memberitahuku lebih dulu.
Lama-lama aku paham.Â
Menjadi pasanganmu tak seluruhnya menyenangkan. Menjadi istrimu, tidak lantas menjadi teman diskusimu yang kau andalkan.
Tak terasa air mataku menetes seperti gerimis. Aku mulai sedih, dan mulai tak berpikir engkau melakukan semua ini demi kebahagiaan kita, kebahagiaanku.
Bagiku hidup sewajarnya akan jauh lebih menyenangkan. Itu sebabnya aku tak pernah rewel menuntutmu tentang segala hal yang orang lain miliki dan kita belum.
Tadinya aku berpikir prinsip seperti ini akan membuat engkau merasa bahagia, dan tak merasa dijadikan sebagai "tambang emas" oleh wanita yang dulunya kau puja-puja.
Sebenarnya aku berniat membicarakan ini pelan-pelan denganmu. Setidaknya sepanjang bulan Desember adalah waktu yang cukup, sebelum ulang tahun pernikahan kita yang ke-2 pada Januari mendatang.
Aku memang butuh sebelas bulan untuk bertekad merubah engkau. Merubah prinsipmu bahwa kebahagiaan itu datangnya dari materi dan benda-benda simbol kesuksesan. Karena sejujurnya aku takut mengecewakanmu, takut engkau akan marah, bahkan akan membenci orang sepertiku.
Siang yang terik, tiba-tiba terasa dingin dan beku.Â
Angin kencang bertiup seenaknya, entah dari arah mana datangnya.
Kelompok awan hitam dan gelap pun bermunculan memenuhi pandangan. Saat itu juga, aku langsung merasa takut dan ciut.
Mereka menyergapmu bukan pada jam tiga dini hari seperti yang biasa kusaksikan dalam berita tv.Â
Sebuah mobil polisi segera dituruni anggota reserse yang bergerak cepat ke dalam rumah. Engkau tak kuasa bicara, apalagi melawan.
Sebuah surat tugas yang disodorkan padaku berisi perintah penangkapan dirimu, sebagai tersangka kasus.....aku bahkan malu mengatakannya.
Deru mobil itu menderu pergi, dan aku tergugu.
Apa yang sudah aku lakukan?
Aku terlalu banyak membuang waktu sehingga semuanya terlambat. Engkau sudah melakukan penggelapan uang negara, demi menutupi cicilan demi cicilan yang semuanya tak pernah kuminta.Â
Mana mungkin aku tak menangisimu, sedang janin dalam rahimku keberadaannya belum sempat engkau ketahui. Aku berniat baru akan menceritakannya nanti malam, sebelum kita tidur. Aku tau engkau pasti akan sangat bahagia, lalu engkau akan memelukku sepanjang malam. Menjagaku dan calon bayi kita, seperti janjimu selama ini.
Hik...hik....hikk
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI