Di rumah yang baru, engkau pula yang banyak berinisiatif mempercantik dinding dengan warna cerah, sementara usulanku untuk memilih cat warna putih, tak kau terima.Â
Baiklah tidak masalah. Aku mengerti engkau melakukan semua ini untuk kita. Untuk aku juga.
Rasanya waktu berjalan cepat.Â
Segala sesuatu yang indah dan menyenangkan, memang seringkali berlalu seperti tiupan angin. Tiba-tiba saja kita sudah sampai pada anniversary yang pertama.Â
Dan sebagai istri yang tak pernah babibu minta ini-itu padamu, lagi-lagi aku terkaget dengan hadiah dalam kotak kecil, sebuah kunci mobil!
Aku ternganga, terdiam seperti orang hilang ingatan. Aku sedih dengan segala tindakan yang kau ambil, tanpa memberitahuku lebih dulu.
Lama-lama aku paham.Â
Menjadi pasanganmu tak seluruhnya menyenangkan. Menjadi istrimu, tidak lantas menjadi teman diskusimu yang kau andalkan.
Tak terasa air mataku menetes seperti gerimis. Aku mulai sedih, dan mulai tak berpikir engkau melakukan semua ini demi kebahagiaan kita, kebahagiaanku.
Bagiku hidup sewajarnya akan jauh lebih menyenangkan. Itu sebabnya aku tak pernah rewel menuntutmu tentang segala hal yang orang lain miliki dan kita belum.
Tadinya aku berpikir prinsip seperti ini akan membuat engkau merasa bahagia, dan tak merasa dijadikan sebagai "tambang emas" oleh wanita yang dulunya kau puja-puja.