Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kutinggalkan Engkau dan Tak Mampu Kulupakan

4 Desember 2020   21:51 Diperbarui: 5 Desember 2020   21:03 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku yang tak pernah benar-benar bangun, beranjak dari cinta kepadamu, adalah wanita biasa yang sudah meninggalkanmu, dulu, belasan tahun silam.

Aku yakin engkau masih ingat itu.

Saat itu aku meninggalkanmu tanpa mau tau hal apapun yang akan engkau hadapi setelahnya. Dan aku pun tak tau pasti, apakah engkau bisa bertahan, yang jelas aku pamit.

Di tempat ini, selama ini aku asyik masyuk dengan indahnya malam. 

Aku tak pernah lupa memandang sang bulan yang sibuk menebarkan cahaya tak berarti, bahkan di malam lainnya bulan tak punya sisa sinar sama sekali.

Apakah engkau tahu?

Saat itu aku duduk saja dalam gelap, menyanyikan lagu-lagu dalam hati, hanya untuk melupakanmu.

Mungkin di sana, engkau juga sudah benar-benar melupakanku, pikirku.                 

Malam ini kulihat bulan, tlah terjatuh lalu terurai
Bimbang hati apa yang harus ku lakukan

Hari ini aku putuskan, untuk jauh kulangkahkan kaki
Untuk pergi dari dirimu

Biarkanlah kan kubawa, sejuta harapan yang indah
Yang pernah kita lalui saat bersama
Kuharap kau bisa mengerti, cinta kita tak direstui
Malam ini harus rela ku pergi

Maafkanlah kekasih, ku harus tinggalkanmu
Meski ku tahu,ini menjadi kau sakit hati
Relakanlah kekasih,tutup air matamu
Semua ini aku lakukan, tuk kebaikanmu
yang harus ku lakukan

Hari ini aku putuskan, untuk jauh kulangkahkan kaki

Untuk pergi dari dirimu

Semilir angin menusukku terlalu kejam. 

Aku kedinginan dibawah lampu temaram yang kian tak berdaya. Bahkan di ujung fajar lampu itu akan mati sendiri. Ah!

Bertahun-tahun terus begitu, tanpa sebuah rasa bersalah.

Apakah aku telah membunuhmu, dari keyakinan cinta tak harus memiliki?

Sebenarnya aku sudah lupa, karena aku tak pernah berusaha mengingat engkau. 

Engkau adalah sebuah cinta di masa muda, penuh dengan romansa antara aku dan engkau saja. 

Lalu aku tenggelam di dalamnya, terbius sebuah kalimat memabukkan dari bibirmu.

"Apa kabarmu?"

"Apakah kau menungguku?"

"Tunggu aku datang, jangan lupa dandan yang cantik..."

Ah!

Aku benar-benar seorang wanita biasa, yang merasa candu dengan senyummu, dan terpikat pada tiap sanjunganmu.

Lalu dari gajiku, selalu kukumpulkan cita-cita untuk mentraktirmu, atau membeli barang-barang hadiah, sekedar untuk mengingatkanmu tentang adanya aku. 

Aku tau engkau pasti menolaknya, dan merasa risih harus menerima kado kecil dari seorang kekasih yang gajinya hanya sepersekian gajimu.

Akhirnya aku mengingat semua kenangan ini. 

Tentang engkau yang telah jauh kutinggalkan, sementara dulu saat cinta itu menggelora, engkau selalu kunantikan.

Hatiku seperti dipenuhi taman bunga, saat aku belanja baju-baju yang baru untuk menyambutmu. 

Tak cukup kuberikan sebuah senyuman dan ruang hati yang setia. 

Aku selalu menerima kedatanganmu dengan baju dan celana pendek yang baru. Minuman dengan harga sedikit mahal untuk pesta kita, bahkan roti yang enak juga.

Apalagi? 

Semua untukmu, untuk menyambutmu, dan untuk memenangkan hatimu.

Saat itu aku tak peduli bulan di langit malam kesepian dan bersinar pucat. Atau jika purnama sempurna menyalakan malam. Aku tak pernah tau, apalagi menikmatinya.

Sampai waktu mengantarkanku pada kenyataan, engkau tak bisa benar-benar jadi milikku. 

Engkau adalah laki-laki bak pangeran Kelantan dan aku sang jelata. Engkau wangi teramat wangi dan aku berpeluh saja.

Sudahlah.

Aku tak akan menyakiti diriku lebih jauh lagi, demi sebuah mimpi yang salah. Tentang cinta yang tak direstui.

Cukuplah selama ini, engkau tak mengabaikan diriku. Tak membiarkan cintaku bertepuk sebelah tangan.

Sekarang saatnya aku pergi. Aku harus meninggalkanmu.

Lalu apakah engkau tau, di tempat ini engkau hilang dari hidupku. 

Aku tak pernah berusaha mengeja namamu, apalagi mencoba menitipkan seulas rindu.

Aku bahagia di sini, tanpa terbunuh sepi.

Tapi air mataku tak bekerja sama. Ia jatuh berkali-kali. 

Seorang lelaki menyungging senyum, tak pernah mencoba membodohiku dengan kata cinta yang dusta. 

Tak pernah berpura-pura sopan, dan tak pernah meninggikan suaranya untuk sesuatu yang tak boleh kuganggu.

Belasan tahun benar-benar berlalu.

Aku dan engkau tak saling mengirim kabar. Tak saling mengintip sosial media, atau bertanya pada angin nan lalu.

Aku sudah meninggalkanmu, dan mengubur setiap kenangan dalam lapisan kabut putih. Nun jauh di sana, dalam kesunyian.

Kuseka air mata tak berharga ini. 

"Mengapa kau harus pergi?"

"Apakah ada laki-laki lain?"

"Tolong maafkan, jika aku pernah membuat kesalahan, atau menyakitimu..."

Ah!

Seharusnya aku tidak menghafalkan kalimat itu. Chat terakhir belasan tahun yang lalu.

*untuk Kompasiana

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun