Mohon tunggu...
aye misbah
aye misbah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Saya Orang Yang Terus Berupaya Mencari Diri Sendiri Dan Terus Terbuka Terhadap Beribu Kegagalan

jika anda sudi berdiskusi dengan saya, senang rasanya saya mendapat masukan barang 1, 2 atau terserah pada anda. Dan syukur-syukur dapat sedikit berbagi pengalaman saya yang tak seberapa ini. ayemisbah.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jujur dan Terbuka dalam Segala Hal akan Menjadikan Kita Manusia yang Benar-benar Bebas

20 Juli 2020   13:57 Diperbarui: 20 Juli 2020   14:00 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setiap kepala memiliki cetakan pikiran yang berbeda-beda. Antara pola pikiran saya dengan yang lain tentu berbeda. Dan pengalaman yang berbeda  dengan orang lain yang saya alami atau antara seseorang dengan orang lainnya-lah yang akan membuat seseorang memiliki suatu pandangan yang berbeda atau tidak dimiliki pada orang lain. Pun sebaliknya.

Suatu pandangan diterima seseorang karena pandangan tersebut dapat menjawab pertanyaan 'mengapa' dalam permasalahan hidupnya. Dan permasalahan hidup seseorang berbeda-beda tergantung pada pengalaman yang pernah dialami. Dengan adanya kesamaan pengalaman pada beberapa atau sedikit hal akan menjadi sebab untuk pandangan yang kita miliki dapat diamini oleh orang lain.

Dan hal tersebut, pengetahuan kita mengenai pengalaman yang sama pada seseorang, berjalan secara natural. Kita tidak memiliah orang mana yang pas kita beri pandangan kita. Namun, kita merasa dengan perasaan kita pada suatu periode tertentu bahwa seseorang dapat kita beri informasi yang kita miliki.

Maka manusia tidak dapat memaksakan pandangannya kepada orang lain. lewat suatu komunikasi langsung yang intensif harus ada ketepatan frekuensi yang tepat mengenai emosional sendiri dengan orang lain yang memang tepat untuk melontarkan ide kita.

Tentu tidak di sembarang waktu dan tempat kita bisa sekehendak hati melontarkan ide. Harus pada timing yang tepat. Dan itu semua berjalan secara alamiah, bukan atas dasar rencana kita yang sudah kita atur secara plek. Itu semua mengalir ketika kita mampu berdiskusi dengan orang lain dengan diri yang jujur dan terbuka. 

Yang tertawa dengan tawa yang dalam. Menertwakan realita yang jujur. Tidak dipenuhi dengan keseakan-akanan dan bukan pula tawa yang dangkal yang bertujuan demi tawa itu sendiri. Namun tawa yang adalah akibat dari suatu pandangan terhadap realita.

Ketika kita dapat jujur dan terbuka ketika berkomunikasi dengan orang lain, kita akan berkomunikasi tanpa kita harus bertopeng. Kita tidak harus banyak berbasa basi agar orang lain menyukai kita. Kita menjadi apa adanya. Dan mungkin akan menjadi semakin mengecil lingkup pertemanan. Namun kita akan berteman secara kualitas, bukan kuantitas. 

Kita akan merasa sangat-sangat bebas dengan pertemanan lingkup kecil ini. Karena mereka tidak akan menuntut kita melakukan ini atau melakukan itu untuk tetap melangsungkan hubungan pertemanan. Dan bahkan mereka dan juga kita pun sudah biasa untuk mengatakan 'tidak' tanpa ada rasa tidak enak dalam batin. Karena memang kita sudah terbiasa jujur. Dan mereka sudah memahami bagaimana karakter kita sebenarnya. 

Pun begitu dengan kita. Sikap jujur dan terbuka kita sudah menjadi filter bagi siapa saja yang memang dapat menerima kejujuran dan keterbukaan kita. Menerima kita apa adanya.

Mengapa kita harus melakukan segala sesuatu dengan bebas dan terbuka dan tanpa hanya sebatas bertopeng? Karena Kita musti mengisi waktu-waktu yang ada dengan segala hal yang berkualitas. 

Segala yang berkualitas adalah segala yang akan menghasilkan kepuasan yang dicapai melalui keterbukaan dan kejujuran diri kita sendiri. seperti mengerjakan potensi diri, hobi atau berbincang dengan orang-orang yang terdekat yang mana kita saling memahami. 

Hal itu penting karena dengan itu kita mengekspresikan emosi kita yang jujur. Emosi kita yang sepenuhnya. Tidak dibuat-buat. Dan ini lah yang membuat puas batin kita. Bukan dengan mempersering kongkow dengan orang banyak namun hanya sebatas main handphone sendiri-sendiri.

Betul memang kata Nietzche bahwa the other peorple is the hell. Dengan bersama orang lain kita akan mengalami banyak pembatas-pembatas yang membuat kita tidak dapat sebebas ketika kita sendiri. kita tidak bisa mengerjakan ini atau mengerjakan itu layaknya ketika kita sendirian, yang bebas melakukan segala macam hal. 

Namun kala kita berkomunikasi dengan orang-orang yang kita dapat jujur dan terbuka dengannya akan kita rasakan bahwa kita merasa lebih bebas dalam the hell-nya Nietzche, dalam keterbatasan yang dicipta atas kehadiran orang lain. Karena orang lain adalah neraka maka ketika kita bertemu dengan orang lain maka kita akan menemukan banyak batas-batas yang membatasi apa yang bisa kita lakukan. 

Namun dalam keterbatasan dengan orang-orang yang kita dapat jujur dan terbuka maka  kita akan merasakan kebebasan. karena dalam tema-tema pembicaraan yang juga terbatas (karena kita pun tak dapat sembarangan membahas segala-gala nya) kita dapat tetap menjadi bebas. 

Karena untuk mendapatkan kepuasan dari rasa kebebasan bukan berarti musti dalam bentuk bebas yang bulat, yang penuh. Namun dalam kebebasan yang sedikit dan bahkan kecil pun asalkan kita masih dapat mengenyam kebebasan, mengenyam diri kita sendiri yang jujur dan terbuka, walau hanya sedikit tadi, maka kita akan merasakan suatu kepuasan.

Dalam suatu penelitain disebutkan bahwa secara mengejutkan manusia dapat beradaptasi dan menemukan kebahagiaan dalam kondisi sosial, politik dan budaya seperti apaun itu. maka manusia dapat tetap mewujudkan kebebasannya, mengeksistensikan dirinya, meski dalam kondisi yang krisis sekalipun. 

Seperti kita lihat banyak orang penyandang disabilitas yang mana kondisi disabilitas mereka itu bukanlah suatu penghalang bagi pencapaian kebermaknaan hidup mereka. 

Dan juga yang saya baca dari buku Fiktor E. Frankl bahwa ia ketika dalam camp Auswitz, tempat pembantaian dan kerjapaksa bangsa Yahudi Jerman oleh Nazi, dengan kondisi yang sangat-sangat menyedihkan, dengan cuaca ekstrim salju dan dengan fasilitas sandang, pangan, papan yang sangat jauh dari layak, pada suatu hari ia terserang tifus dan tentulah sangat buruk keadannya. 

Dan wabah itu menyerang banyak penghuni camp hingga ia, yang sedang dilanda tifus, dibutuhkan kemampuan kedokterannya untuk membantu tim medis. 

Ia pun langsung bangkit dan berprinsip bahwa lebih baik mati dengan menjadi dokter ketimbang mati konyol. Karena kemampuan kedokterannya adalah dirinya yang penuh yang pengeksistensiannya akan menghadirkan suatu kepuasan. Dan itulah akar dari kebahagiaan sejati. Pengeksistensian diri.

Maka yang kita butuhkan dalam segala hal dalam kehidupan kita adalah kualitas, bukan kuantitas. Dalam pertemanan, harta, bekerja, yang terpenting adalah kualitasnya. Dengan hanya mengejar kuantitas, mengejar jumlah, maka sering diri kita sendiri tidak dapat mengontrol kuantitas tersebut.

Mungkin seringkali kita menyakiti hati orang lain karena kita mengincar kuantitas kenalan. Mungkin pada dasarnya memang kita sedang tidak ingin berbicara dengan orang lain. Namun karena dipaksa oleh standar diri kita sendiri, standar kuantitas pertemanan, kita memaksakan diri untuk tetap bertemu dan mengobrol dengan orang lain. 

Lantas akan banyak pastinya basa-basi guna menutupi keengganan hati untuk bertemu dan berbicara dengan orang lain. dan basa-basi ini hanya menjadi topeng, bukan diri kita sendiri yang jujur dan terbuka. Ia malah kerap yang menyakiti hati orang lain. karena bagaimanapun juga perasaan hati ingin ditutupi pun akan terus mencari celah jalan untuk mengeksistensikan dirinya.

Dan mungkin sering juga ketika kita berupaya untuk menghasilkan uang yang banyak dan setelah kita peroleh uang tersebut malah kita tidak rasakan pemakaian pembelanjaan kita hingga tak terasa tiba-tiba uang yang banyak yang kita miliki itu habis. Karena sering yang kita incar adalah uang itu sendiri, bukan bekerja demi mewujudkan suatu tujuantertentu. 

Karena manusia sebetulnya tidak butuh uang. Yang dibutuhkan manusia adalah sandang, pangan dan papan dan juga kebutuhan lainnya yang berbeda tiap individu yang dapat dikelompokkan menjadi kebutuhan primer, sekunder dan tarsier. 

Kebutuhan-kebutuhan ini lah, yang diutamakan berdasar skala prioritas masing-masing individu, yang harusnya menjadi alasan mengapa kita bekerja. Bukan karena uang itu sendiri yang tanpa ada alasan dan akan terasa habis secara tiba-tiba akhirnya.

Kita terlalu sering mengejar kuantitas dan bukan kualitas karena kita lebih sering mendengar 'apa kata orang lain' dan akhirnya melupakan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh diri sendiri. 

Kita membutuhkkan kuantitas pertemanan yang sebanyak-banyaknya lantaran banyak orang, dan hampir semua orang di sekeliling kita, berkata bahwa orang yang berhasil adalah orang yang memiliki banyak pertemanan. mungkin itu tidak salah. 

Namun juga tidak bisa dikatakan benar. Karena ada pula orang yang mana bakat yang ia miliki adalah bakat yang dikerjakan tidak melalui komun, namun individual. Maka baginya bertemu dengan orang lain yang akan penuh dengan ketidak bermaknaan yang ia senangi hanya membuang-buang waktu saja. Maka memiliki teman yang terbatas pun bukanlah masalah.

Yang menjadi masalah adalah apabila kita sudah tidak menemukan kembali apa yang bermakna. Ketika teman kita yang banyak bukan lagi sebagai tempat untuk bersikap jujur dan terbuka, dan hanya sebatas memenuhi standar kuantitas itu sendiri, yang tanpa makna. 

Standar yang dibentuk oleh 'kata orang lain'. standar yang membuat kita ketika berkumpul hanya scroll-scroll handphone, atau tertawa bukan karena memang lucu namun tawa agar menghormati, dan segala perilaku yang hanya sebatas topeng belaka, tanpa sikap jujur dan terbuka.

Kita musti memenuhi hari kita dengan menyalurkan emosi kita yang jujur agar kita menjadi manusia yang benar-benar hidup, bukan hanya sekedar manusia yang digerakkan rutinitas atau nilai-nilai yang menipu yang kita jadikan standar diri kita yang hanya sebatas 'apa kata orang lain'. 

Yang menjadika kita melakukan sesuatu hanya karena terpaksa, bukan karena keinginan penuh diri sendiri. karena yang kita anut adalah nilai yang palsu. Yang seolah-olah bernilai. padahal hanya fatamorgana yang tidak ada gunanya.

Maka, teman,  jujur dan terbuka lah pada setiap hal dalam hidup kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun