Hal itu penting karena dengan itu kita mengekspresikan emosi kita yang jujur. Emosi kita yang sepenuhnya. Tidak dibuat-buat. Dan ini lah yang membuat puas batin kita. Bukan dengan mempersering kongkow dengan orang banyak namun hanya sebatas main handphone sendiri-sendiri.
Betul memang kata Nietzche bahwa the other peorple is the hell. Dengan bersama orang lain kita akan mengalami banyak pembatas-pembatas yang membuat kita tidak dapat sebebas ketika kita sendiri. kita tidak bisa mengerjakan ini atau mengerjakan itu layaknya ketika kita sendirian, yang bebas melakukan segala macam hal.Â
Namun kala kita berkomunikasi dengan orang-orang yang kita dapat jujur dan terbuka dengannya akan kita rasakan bahwa kita merasa lebih bebas dalam the hell-nya Nietzche, dalam keterbatasan yang dicipta atas kehadiran orang lain. Karena orang lain adalah neraka maka ketika kita bertemu dengan orang lain maka kita akan menemukan banyak batas-batas yang membatasi apa yang bisa kita lakukan.Â
Namun dalam keterbatasan dengan orang-orang yang kita dapat jujur dan terbuka maka  kita akan merasakan kebebasan. karena dalam tema-tema pembicaraan yang juga terbatas (karena kita pun tak dapat sembarangan membahas segala-gala nya) kita dapat tetap menjadi bebas.Â
Karena untuk mendapatkan kepuasan dari rasa kebebasan bukan berarti musti dalam bentuk bebas yang bulat, yang penuh. Namun dalam kebebasan yang sedikit dan bahkan kecil pun asalkan kita masih dapat mengenyam kebebasan, mengenyam diri kita sendiri yang jujur dan terbuka, walau hanya sedikit tadi, maka kita akan merasakan suatu kepuasan.
Dalam suatu penelitain disebutkan bahwa secara mengejutkan manusia dapat beradaptasi dan menemukan kebahagiaan dalam kondisi sosial, politik dan budaya seperti apaun itu. maka manusia dapat tetap mewujudkan kebebasannya, mengeksistensikan dirinya, meski dalam kondisi yang krisis sekalipun.Â
Seperti kita lihat banyak orang penyandang disabilitas yang mana kondisi disabilitas mereka itu bukanlah suatu penghalang bagi pencapaian kebermaknaan hidup mereka.Â
Dan juga yang saya baca dari buku Fiktor E. Frankl bahwa ia ketika dalam camp Auswitz, tempat pembantaian dan kerjapaksa bangsa Yahudi Jerman oleh Nazi, dengan kondisi yang sangat-sangat menyedihkan, dengan cuaca ekstrim salju dan dengan fasilitas sandang, pangan, papan yang sangat jauh dari layak, pada suatu hari ia terserang tifus dan tentulah sangat buruk keadannya.Â
Dan wabah itu menyerang banyak penghuni camp hingga ia, yang sedang dilanda tifus, dibutuhkan kemampuan kedokterannya untuk membantu tim medis.Â
Ia pun langsung bangkit dan berprinsip bahwa lebih baik mati dengan menjadi dokter ketimbang mati konyol. Karena kemampuan kedokterannya adalah dirinya yang penuh yang pengeksistensiannya akan menghadirkan suatu kepuasan. Dan itulah akar dari kebahagiaan sejati. Pengeksistensian diri.
Maka yang kita butuhkan dalam segala hal dalam kehidupan kita adalah kualitas, bukan kuantitas. Dalam pertemanan, harta, bekerja, yang terpenting adalah kualitasnya. Dengan hanya mengejar kuantitas, mengejar jumlah, maka sering diri kita sendiri tidak dapat mengontrol kuantitas tersebut.