Begitupun dengan mutu pendidikan. Mengajari anak matematika memang penting, tapi tidak lebih penting dari pada mengajari mereka sejarah, melukis, menari, memahat termasuk juga mengajari mereka untuk menghargai mahluk hidup lain ciptaan Tuhan. Agar jangan sampai anak-anak melihat satwa liar sebagai komoditas untuk diperjual belikan atau melihat kucing sebagai pelepas stress setelah ujian dengan cara di gebukin sampai mejret.Â
Fasilitas olahraga harus menjadi fasilitas utama yang dimiliki sekolah agar anak-anak dapat berolahraga, belajar untuk pantang menyerah dan sportif dalam artian mau menerima kekalahan dan mengakui kelebihan lawan, bukan diajari untuk pantang kalah, menang bangga, kalah sedih, dicurangin mewek abis itu walk out.
Nah, kembali kepada pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini. Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut harus dibarengi dengan komitmen untuk mencapai output yang diinginkan yaitu pendidikan yang merata untuk semua warga negara tanpa pengkastaan alias tidak diskriminatif. Apabila untuk dapat mencapai output tersebut diperlukan anggaran yang besar maka jawaban judul tersebut adalah YA.
Sehingga pertanyaan berikutnya adalah "apakah anggaran tersebut cukup?" Jika Ya, bagus donk, jika tidak berarti anggaran pendidikan dalam APBD pun harus wajib 20% dan pemerintah pusat harus bisa memaksa daerah untuk mengikutinya. Hal ini tentu juga dibarengi dengan pemahaman terhadap kearifan local contohnya untuk daerah Papua maka ekstrakurikuler berburu dan memanah bisa menjadi hal yang wajib dan sekolah harus mempunyai fasilitas tersebut.
 Sedangkan untuk anak-anak di darah pesisir mungkin perlu fasiltas untuk belajar aqua marine sehingga perlu alat-alat diving. Tentu saja anggarannya dapat berasal dari APBN dan APBD. Intinya adalah bagaimana pemerintah pusat harus bisa memberikan panduan kepada pemerintah daerah tanpa mengabaikan kearifan local di setiap daerah.
Hal ini tentu membutuhkan komitmen yang sangat kuat di level pusat dan tentu saja anggaran yang mumpuni juga (bukan naik turun kayak denyut jantung). Lantas bagaimana apabila anggaran 20% tersebut ternyata berlebih? Lha wong untuk mencapai output tersebut saja belum bisa koq sudah bisa bilang berlebih, kalau kurang mungkin dan tentu saja 20% justru akan menjadi pembatas agar pemerintah tidak sembrono untuk dapat mencapai output yang diinginkan, mengingat belanja pemerintah juga kan bukan cuma di sector pendidikan saja.
Saya yakin komponen biaya paling mahal adalah pemberian subsidi kepada anak-anak tersebut. Sebagai ilustrasi anggap saja anak yang harus di subsidi ada 50 juta (dalam APBN 2017 penerima KIP sebanyak 19,7 juta dengan besaran yang berbeda untuk SD, SMP dan SMA dimana paling besar untuk SMA sebesar Rp 1juta/orang/tahun), anggap saja biaya untuk mendidik 1 orang anak dipukul rata Rp2 juta/tahun maka dibutuhkan setidaknya Rp100 triliun/tahun untuk memberikan pendidikan gratis yang inklusif untuk semua anak di Indonesia, di mana anggaran pendidikan dalam APBN 2017 sebesar Rp400 triliun. Lebih dari cukup donk.
Lantas bagaimana dengan gaji para pendidik? Biaya maintenance dan infrastruktur sekolah? Apalagi kalau ada standarisasi infrastrutur sekolah oleh pemerintah, cukupkah duit Rp400 triliun itu? Nah inilah yang paling tricky dan yang selalu menjadi bahan debat kusir para elit. Karena kebanyakan orang hanya berpikir linear bahwa diperlukan dana sebesar sekian untuk memberi subsidi pendidikan buat seluruh anak Indonesia plus gaji guru plus infrastruktur sekolah plus lain-lain. Sehingga munculah angka fantastis yang menganggap pemberian subsidi buat seluruh anak Indonesia adalah hal mustahil.Â
Seharusnya kita berpikir bahwa biaya yang dikeluarkan oleh orang tua anak merupakan uang yang digunakan untuk membayar gaji guru, pembangunan fasilitas sekolah, maintenance dan pembelian alat sekolah karena sekolah selalu memungut uang dari orang tua siswa dengan alasan ini. Logikanya, apabila biaya tersebut ditanggung oleh negara, orang tua siswa sudah gak perlu ngeluarin duit lagi buat bayar SPP sama uang pangkal sekolah.
Dengan kata lain, pemberian dana tunai untuk membeli alat sekolah yang disalurkan untuk kasta paria (melalui KIP) adalah kebijakan yang keliru dan bersifat pemborosan, karena hal ini justru menciptakan diskriminasi dan pengkastaan diantara para siswa dan bahkan tidak menutup kemungkinan untuk menciptakan bully serta perbuatan-perbuatan amoral yang dilakukan ABG alay yang kerap viral di media social.Â
Hal ini justru mencederai prinsip pendidikan itu sendiri yang berkeadilan serta tidak diskriminatif bahkan output yang diharapkan pun malah kerap menyimpang dari tujuan pendidikan nasional yaitu untuk mengembangkan potensi anak agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.