Mohon tunggu...
Arie Yanwar
Arie Yanwar Mohon Tunggu... Administrasi - Hanya seorang rakyat yang peduli kepada negerinya tercinta

Menulis sebagai bentuk apresiasi pada pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlukah Anggaran Pendidikan 20% pada APBN?

16 September 2017   00:29 Diperbarui: 16 September 2017   01:13 3769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pemerintah juga membagi para peserta didik (anak-anak) kedalam 3 kasta (walau tidak diakui oleh pemerintah) yaitu kasta paria bagi anak orang miskin, kasta sudra bagi mereka yang berasal dari keluarga yang penghasilan orang tuanya pas-pasan tapi gak masuk kategori miskin, serta kasta satria bagi mereka yang orang tuanya dianggap berkantong tebal (walau masih belum jelas yang dikantongi uang atau surat utang).

Nah, mereka yang dari kasta paria menerima kartu Indonesia pintar yaitu bantuan full dari pemerintah berupa duit dengan nominal tertentu langsung kepada si anak untuk membayar keperluan sekolah mereka dari mulai buku, baju, sepatu, aksesoris, henpon, pulsa oops... setau saya 2 item terakhir dilarang dibeli pakai dana KIP walaupun .... ya gitu deh. Untuk mereka yang dari kasta sudra, orang tua dari kasta ini selalu sibuk setiap tahun ajaran baru terutama untuk bikin surat pernyataan BP7 (Bapak Pergi Pagi Pulang Petang Penghasilan Pas-Pasan) supaya dapat diskon SPP si anak, yah nasib jadi orang yang gak dianggap kaya maupun miskin. 

Nah, bersyukurlah anak-anak yang dari kasta satria karena pihak sekolah biasanya memberi karpet merah buat mereka dengan privilege tertentu seperti gak ada larangan bawa Galaxy S7 atau Iphone keluaran paling anyar bahkan fasilitas ujian pun disediakan dari mulai kisi-kisi sampai jaminan nilai OK. Padahal orang tua dari anak kasta satria inipun sebenarnya ada 3 golongan yaitu OKB (orang kaya beneran), BPJS (bergaji pas-pasan jiwa sosialita), dan debt collector (alias tukang ngutang sana sini dari mulai BNI, BRI sampai kantin belakang kantor).

Bagaimana dengan fasilitas pendidikan yang disediakan sekolah? Hal ini sangat bergantung dengan lokasi terutama lokasi peserta didik dari kasta satria. Makin mudah sekolah di akses oleh banyak peserta didik dari kasta satria, fasilitas sekolah pun makin wow (UK mah kalah dah). Makin banyak sekolah di akses oleh peserta didik dari kasta paria dan sudra, biasanya gurunya yang jadi selebritis dadakan karena dipolisikan orang tua akibat mengibas anak mereka supaya disiplin. Padahal saya dulu di sentil dan di cubit sama guru sampai nangis gara-gara gak ngerjain PR, ngelapor sama orang tua malah nambah gamparan (oops.. numpang curcol).

Bagaimana dengan mutu pendidikan antara 2 negara ini? Kalau kita ingin membandingkan mutu pendidikan antara UK dan Indonesia, maka tergantung parameter yang digunakan. Kalau parameter yang digunakan matematika, jelas Indonesia lebih unggul karena matematika yang diajarkan di UK hanya kali, bagi, jumlah dan selisih sedangkan anak-anak di Indonesia sudah diajari diferensial, integral dan trigometri sejak SMP bahkan SD pun sudah belajar aljabar dan geometri.

Kalau parameternya olah raga saya yakin anak UK pasti kalah sama anak Indonesia, karena anak UK selalu diajarkan untuk minta maaf kalau berperilaku agak keras terhadap temannya apalagi kalau sampai menjurus kepada bully, berbeda dengan anak Indonesia yang pantang kalah (bukan pantang menyerah) dan kalau kalah mereka akan mewek atau tawuran.

Tapi kalau parameternya berperilaku sportif, legowo, menyadari kelebihan lawan dan kekurangan diri sendiri, saya yakin anak UK masih bisa lebih unggul dari anak Indonesia karena memang hal-hal inilah yang diajarkan buat anak-anak. Saya pun yakin bahwa sekolah yang peserta didiknya dari kasta satria juga pasti mengajarkan hal-hal yang diajarkan kepada anak-anak di UK tapi sekali lagi hanya untuk kasta satria.

Nah, disinilah pentingnya anggaran pendidikan itu. Untuk bisa menghilangkan pengkastaan di sector pendidikan dibutuhkan anggaran yang luar biasa besar. Kemendikdas harus menyediakan aturan standarisasi sekolah yang mengatur jenis fasilitas yang wajib dimiliki sekolah tanpa membedakan status negeri atau swasta dan tentu saja biaya untuk bisa memiliki fasilitas tersebut di tanggung oleh pemerintah bukan orang tua siswa.

 Tidak boleh ada sekolah berstandar khusus seperti SBI atau RSBI atau RUPS (ehh...) atau apapun namanya yang hanya anak kasta satria yang bisa akses, sehingga dengan penyamaan standar untuk semua sekolah maka pengkastaan pun akan hilang.

Ditambah juga dengan aturan apa yang boleh dan yang tidak boleh dibawa siswa supaya semua anak berpenampilan sama, sehingga anak tukang bakso gak akan minder main sama anak direktur BUMN. Tentu saja hal ini harus di barengi dengan gratis biaya sekolah tanpa memandang SARA dan status social, bahkan kewarganegaraan kayak di negara-negara EU (kalau yang ini cukup mimpi dulu). 

Tentu saja jika ada sekolah yang ingin memiliki kegiatan ekstrakurikuler berupa memanah, berkuda, balapan atau lainnya ya silakan dimana biaya eskul ini akan ditanggung oleh orang tua murid. Dan gak usah kawatir ada perbedaan kasta disana, karena sudah pasti cuma anak kasta satria saja yang sanggup dan tentu saja orang tuanya juga mau anaknya sekolah disana.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun