Ketika ia menemukan tempat yang pas untuk melihat-lihat tibalah kini buku-buku yang ia inginkan, walaupun terkesan mahal akan tetapi yang terpenting adalah dia dapat menelannya mentah-mentah dan yang pasti dia  akan mencari tempat yang strategis untuk membacanya. Tampak dua orang pekerja counter memperhatikannya dari kejauhan.Â
Dan tak lama keduanya menginterogasi Naufal agar pergi dari tempat itu. Alangkah bodohnya sang security itu yang hanya tahu mengais keindahan lewat kerjanya yang sembrono yang dengan terpaksa mengusir Naufal karena mengidap penyakit bacaan atau memang dikarenakan Naufal tidak mampu untuk membelinya. Patung-patung berdiri tegar dan siapapun anda, terkesima oleh cover indah buku itu apalagi kemolekan tempatnya. Â Â Â Â Â Â
Lebih baik menjadi macan perpustakaan daripada menuju tempat itu, kalau saja security itu berbudi tentu hasilnya akan menggembirakan.Tetapi toko buku tamak bergejolak karena melonjak harganya, Naufal bergumam dalam hati.
Meraih kepintaran itu sulit, butuh ransum kepekaan dan materialisme kemapanan. Profesor, businessman, anak-anak lajang kaya raya akan mudah menjadi cerdas karena terlalu kerap menelan keindahan itu.
Sementara Naufal yang menjadi mahluk gembel akan terusir dari peradaban dan tak akan mencerap keindahan buku itu. Memang toko buku elit, yang datang adalah orang elit, bukan mahluk sembelit apalagi sulit.Â
Toko buku tamak adalah diperuntukkan untuk mereka yang berdasi bukan mereka yang berbusana compang-camping, Kalau Naufal berpikir ternyata memang selalu ada distorsi dan kelas hitam---putih untuk datang ke sana.
Tanjung Duren November 2004.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H