Mohon tunggu...
Samaya Fitri
Samaya Fitri Mohon Tunggu... -

Perempuan yang gemar melukiskan perasaannya lewat tulisan...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan yang Memilih Mati

16 Februari 2016   17:48 Diperbarui: 16 Februari 2016   18:31 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang perempuan duduk didepan meja rias kamarnya, wajahnya tak kalah cantik dari bunga mawar yang ada di vas samping meja riasnya, kulitnya tak kalah putih dari gaun yang dipakainya.

Ia memandang bayangan dirinya sendiri yang memantul dari cermin didepannya,.muda, cantik dan mapan untuk perempuan seusia dirinya dan ia menyadari itu. Kembali ia memoleskan lipstick merah yang akhir-akhir ini menjadi warna favoritnya. Warna yang cantik serupa darah, pikirnya.  Kemudian ia beridiri dan mematut-matut gaun putihnya, memutar-mutar badannya beberapa kali  didepan cermin yang sama, “sempurna” bisiknya  sambil tersenyum tipis.

Sesaat kemudian ia kembali duduk di kursi depan meja riasnya, kali ini ia dengan saksama memerhatikan detail wajahnya sendiri, rambut hitam legam sepunggungnya yang lebat, wajah cantiknya yang oval , dagu yang serupa telur terbalik menggantung  dengan belahan di bawahnya, tulang pipi yang tinggi,  hidung bangir sempurna. Pandangannya terhenti lama saat ia melihat matanya sendiri, bola mata warna hazel memantul indah di hiasi bulu yang lentik, warisan dari orang yang di bencinya. Namun sayang dibalik mata indahnya itu, ia memiliki tatapan yang kosong, ada sesuatu yang ia sembunyikan di dalam sana, sesuatu yang gelap.

perempuan cantik itu sedang duduk di meja rias kamarku.

**

“ Kanaya, apa kau di dalam,? Ini aku, Arka”  sebuah suara terdengar dari pintu depan disertai ketukan beberapa kali. Ah iya bukankah  malam ini aku sedang menunggu seseorang, kulirik jam didinding kamarku, jam tujuh tepat. Ya lelaki itu memang selalu tepat waktu. Aku keluar dari kamar dan segera menuju pintu depan rumah, menarik napas sejenak dan merapikan gaun sebelum aku benar-benar membukanya. Kulihat sosoknya yang tegap sudah berdiri dengan sebuket bunga krisan putih di tangan, bunga favoritku.

“selamat datang” ucapku sambil memasang senyum yang kujamin terlihat seribu kali lebih manis dari  gulali pasar malam. Ia tersenyum, kulihat matanya penuh  tatapan kekaguman akan diriku, seperti biasa. Aku kembali tersenyum, puas. “Untukku?” aku bertanya sambil melirik bunga krisan di tangannya, “ah, iyaa”  jawabnya sambil menyerahkan bunga itu kepadaku. Aku menerimanya dengan mata berbinar layaknya anak kecil yang di berikan mainan baru. Sejurus kemudian aku memeluknya erat, sangat erat seakan aku tak pernah mau kehilangan dia lagi untuk kesekian kali.

Kulepaskan pelukan itu dengan sangat berat kemudian kucium pipinya sekilas. “kamu mau masuk dulu sebentar atau kita langsung jalan saja?” tanyaku. Kami memang janjian untuk pergi makan malam di salah satu restoran kota ini. “kita langsung jalan saja ya kanaya, aku takut kena macet dijalan nanti, kau seperti tidak tahu saja arus lalu lintas di kota ini”. Aku tersenyum dan mengangguk, lalu dia menuju mobilnya yang terpakir di depan rumah, membukakan pintu untukku dan kemudian berlalu untuk masuk ke kusrsi kemudi.

Mobil kamipun lalu melaju, memasuki lalu lintas yang tadi dikatakan lelaki itu. Benar saja jalanan sudah padat merayap, arka memilih jalur masuk tol agar tak terlalu macet.

Pluk!! Tiba-tiba telapak tangan lelaki itu memukul pelan wajahku. “a apa”?” kataku tergeragap kaget  menoleh kearahnya. “kamu itu ya, gak berubah”  tawanya yang renyah berderai. “apanya yang gak berubah”? aku merengut kesal sambil memalingkan muka kesamping. “mata kamu kanayaaa, kosong. Aku gak pernah ngerti apa sih yang kamu lamunin? Tapi yang jelas sepertinya bukan aku yah yang ada di kepala kamu itu? karena jelas-jelas aku ada disini, disamping kamu” tawanya semakin lebar. Kenapa sih lelaki ini selalu tahu kalau memang pikiranku sedang tidak ada ditempat, namun tentu saja dia salah tentang apa yang aku pikirkan, karena nama Arkasana Darmadyaksa selalu dan akan selalu ada di kepalaku. Aku menunduk, malu. Sedang dia aku lihat sudah kembali konsentrasi dengan jalanan di depannya.

**

Selama ini tak pernah ada lelaki manapun yang menatap lebih jauh kedalam bola mataku yang berwarna hazel lembut itu, mereka semua sepertinya lelaki dari jenis yang sama, hanya tertarik dengan seluruh kecantikan wajahku saja. Entah mengapa lelaki disampingku ini  berbeda, bahkan pada saat pertama bertemu dan kemudian setelah beberapa hari berkenalan, dia, lelaki itu dengan santai bilang  “kanaya mata kamu itu indah, aku suka, apalagi dengan bola mata warna hazel itu, terlihat lembut dan dalam, tetapi aku melihat kekosongan yang amat sangat disana , seolah jika terus menerus menatap matamu aku akan ikut hanyut dalam kekosongan yang hampa itu” dia berbicara seperti itu sambil mengunyah makanan yang tersedia di meja event music yang sedang kami hadiri. “Apa yang kamu sembunyikan didalam sana Kanaya?” lanjutnya terlihat santai namun serius.

Semenjak itu, aku dan lelaki itupun menjadi dekat. Awalnya aku hanya penasaran tentang apa yang dikatakannya tempo itu, tentang mataku. Mana mungkin ia bisa meliahat kedalam mataku seperti pintu terbuka, secara tidak langsung lelaki itu telah masuk kedalam jiwaku bukan?,  karena mata adalah jendela jiwa.Seolah tanpa ia sendiri sadari, dia telah menghembuskan napas kehidupan lewat tatapan matanya, menghidupkan kembali jiwaku yang tekah lama sengaja kutikam dengan belati paling sunyi  agar ia mati.

**

Kudengar lelaki disampingku tertawa pelan, aku menoleh  dan menatap wajahnya dengan heran. Apa? Mimik wajahku seolah bertanya. “kamu itu lucu kalo lagi ngelamun, gemesin!” candanya dengan tawa yang lebih lebar, aku merengut kembali, kesal dan malu namun ada perasaan senang didalamnya. “kau tahu sudah berapa lampu jalan yang kita lewati?” tanyanya kemudian dngan nada yang agak serius.”entah” jawabku singkat, buat apa dia bertanya seperti itu?. “fokus dong kanayaa, jangan biarkan kepalamu itu terus menerus berkelana kemana-mana, bisa kan isi kepala sama tubuh kamu nyatu? Ada disini disamping aku”. Aku hanya bisa tercekat mendengarnya.

“kamu bisa mulai dengan melihat hal-hal yang kita lewati sepanjang jalan ini, menghitung lampu jalanan misalnya. Kurasa itu akan membuat kepalamu tetap berada di tempat. Jujur ya selama kenal kamu, aku sempat heran kenapa kamu gak pernah hafal jalan padahal kamu tinggal di kota ini sudah lama. Dan aku baru tahu setelah kita sering keluar bareng, ternyata selama perjlanan kamu hanya diam, duduk manis dan membiarkan pikiranmu entah pergi kemana, bahkan ngobrol pun jarang, malah hamper  gak pernah. Aku kadang  suka ngerasa kalo lagi jalan sama boneka, tak ada percakapan dalam mobil, tapi waktu itu aku masih biarin kamu karena aku memang suka kalo ngeliat kamu ngelamun, lucu” ia menoleh sebentar kearahku untuk  menunjukan bahwa ia sedang serius.

Aku hanya bisa menunduk  dalam-dalam, tak bisa menjawab apapun, membenarkan apa yang ia katakan. “kamu gak bisa kaya gitu terus kanaya, tidak baik hidup di duniamu sendiri sementara kamu sedang bersama orang lain di dunia nyata” ia berkata dengan lembut.

“kamu lagi protes tentang kebiasaan aku?”  tanyaku sedikit kesal. “bukan begitu kanayaa, tapi aku tidak mau kamu tenggelam sendirian disana” jawabnya. “kan ada kamu” sanggahku. “aku tahu kamu gak pernah ngebiarin orang lain masuk ke kehidupan kamu selain aku, kamu gak boleh gitu, kenapa kamu gak nyoba buat buka diri kamu, gak semua orang mau lihat ke dalam matamu dan masuk kedalamnya” ahh kenapa lelaki ini selalu mengerti.

“kamu aja cukup, Arka!”. Ucapku setegas mungkin.

“Aku ga akan bisa selalu ada buat kamu kanaya, “ tunduknya tiba-tiba  lesu. “maksud kamu?”mata hazelku membulat meminta penjelasan darinya. “tidak, tidak apa kanaya.” Jawabnya seraya kembali memandang lurus kedepan, pura-pura kembali berkonsentrasi  dengan jalanan didepan.

Aku terlalu panakut untuk bertanya lebih lanjut. Hanya pikiranku saja yang tidak karuan.

Cemas mendekapku sepanjang sisa perjalanan selanjutnya yang kami lewati dalam diam.

**

Mobil kami memasuki pelataran  parkir sebuah restoran, kami sudah sampai di tempat tujuan. Malam ini sepertinya tidak terlalu ramai, mungkin  karena bukan weekend. 

Kami masuk berdampingan kedalam, seorang pelayan berseragam hitam-hitam menghampiri kami dan menanyakan meja untuk berapa orang, lelaki itu menjawab untuk dua orang. Kemudian pelayan itu mengantar kami ke sebuah meja tepat di samping jendela yang menghidangkan pemandangan taman di samping resatoran tersebut. Lelaki itu menarik kursi untukku, lalu kemudian dia duduk di hadapanku. 

 “mau pesan sekarang, mas?” tawar pelayan pria itu sembari memberikan buku menu pada kami. “iya” aku yang menjawab “aku pesan chicken steak, Caesar salad, jus strawberry dan air mineral” aku memang sudah menetukan sejak dari rumah makanan apa yang mau aku pesan, aku tidak mau terlalu ribet soal memilih makanan. “lasagna satu sama cappuccino ya mas” ia menambahkan. pelayan itu berlalu membawa catatan pesanan kami. 

“kanaya” dia memanggilku dengan tegas seolah takut kalau kepalaku kembali pergi entah kemana. “iya” jawabku sambil menatap wajahnya. “hmm, maaf yah aku baru sempat hubungin kamu lagi kemarin, aku sibuk selama di surabaya, urusan pekerjaan sekalian promo album terbaru bandku” lanjutnya kemudian. “tidak apa-apa Arka, bukankah aku sudah biasa di tinggalkan begitu saja olehmu” kataku sambil mengulum senyum, tentu saja aku hanya bercanda. 

 “oh ayolah kanayaaa…” dia malah mendesah panjang menanggapi perkataanku serius. “beneran kok, nggak apa-apa, aku ngerti kamu lagi sibuk sama band kamu”. Aku melanjutkan. Dia memang vokalis sebuah band beraliran rock yang bulan lalu baru saja mengeluarkan album keduanya. Lihat saja penampilannya,seorang rocker, sepatu kets putih, celana jeans lebar, kaos hitam ketat serta kalung rantai yang mengantung dileher. Memang dia tidak terlalu tampan dibandingkan dengan beberapa lelaki yang pernah menjadi partner modelku, tetapi dimataku dia adalahlelaki paling keren, siapa sangka dibalik penampilannya yang sedikit urakan dia meiliki tatapan yang bisa menembus jiwa seseorang. 

Ada kekhawatiran yang aku rasakan, dia, lelaki itu tampak berbeda dari biasanya. “maafkan aku” dia menatap mata hazelku dala-dalam. Rasa cemasku bertambah-tambah saat pelan-pelan ia mengangkat tangannya dan menyentuh wajahku. “mata kamu bagus, entah sudah berapa kali aku bilang ini sama kamu, apa yang kamu sembunyikan di dalam sana? Kenapa kamu gak pernah mau kasih tau aku, atau orang lain mungkin?, aku gamau kamu sendirian terus.” Ucapnya. 

 “selama ini aku memang sendirian, tapi gak lagi semenjak ada kamu, meski kamu tak lelah memeluk langkah untuk  pergi, tapi aku gak akan perah berpaling karena cuma kamu tempataku pulang, berkali-kali” aku balas menatap mata cokelatnya. 

Ia menarik tangannya perlahan. Menunduk dalam-dalam seolah sedang mengumpulkan keberanian untuk kembali menatap mataku. 

Sebelum percakapan kami berlanjut, seorang pelayan mengantarkan pesanan dan kami memutuskan untuk makan malam terlebih dahulu, tentu saja tanpa percakapan. Selera makanku menguap begitu saja, tertelan rasa khawatir akan sikapnya yang aneh. Aku hanya memainkan makanan yang kupesan tanpa ada niat untuk menghabiskannya, sedangkan kulihat makanan didepannya sudah tandas. 

“Aya” deggg aku dengar dia memanggil nama kecilku, nama yang sebenarnya kubenci namun aku selalu suka jika ia yang menyebutkannya, tetapi sekarang panggilan itu malah membuat cemasku beranak pinak, dadaku sesak. 

“Aku akan menikah” ucapnya tiba-tiba. Aku limbung.

Aku bisa merasakan kupu-kupu di perutku berterbangan dengan kasar, menarik-narik otot didalamnya, membuat mataku tertarik kebelakang, membelalak nyalang. 

Apa benar kau akan menikah Arka?

Kepalaku langsung menuju ke masa di,mana pertama kali aku bertemu dengannnya, memutar kilasan  bagaimana kami  berkenalan, bagaimana ia menatap mataku yang langsung masuk ke relung hatiku dan menghidupkan jiwaku yang lama kubiarkan mati di dalam sana. 

Dia bukan kekasihmu kanaya, tidak pernah menjadi kekasihmu. Selama ini bukankah dia memang selalu pergi, entah kemana. Dan ia akan kembali padamu hanya pada saat ia ada di kota ini, kamu bahkan tidak tahu keluarganya, teman-temanya atau segala hal tentangnya. Jika kalian bertemu kamu hanya mengajaknya masuk keduniamu sendiri kanaya, dan kau tak pernah masuk kedunianya sama sekali. 

Ahhh seegois itukah aku selama ini?

Memang benar  selama ini hanya sebatas itulah hubungan kami, aku akan membawanya kedalam hidupku, mengizinkannya masuk tapi tak pernah kubiarkan ia tahu apa yang ada didalam sana. Aku hanya mengajaknya menikmati kehampaan tiada berujung di balik mata hazelku. 

Aku tidak berpikir sejauh ini, yang aku tahu jika dia pergi kemanapun, pasti dia akan kembali.

Tapi sekarang dia akan menikah, benarkah? 

“Kapan?” kataku setelah berhasil menguasai diri. 

“lusa” jawabnya seraya kembali menunduk dalam-dalam menghindari mataku. 

“mendadak sekali” kataku tercekat

 

“Ayaa…” ia masih menunduk tak berani menatapku 

“selamat ya Arka” suaraku tersendat tapi aku berusaha agar suaraku setenang mungkin.

Sekilas aku melihat ia agak terkejut dengan ucapankutersebut, meski kemudian dia mengerti bahwa aku tak akan  membiarkan dia tahu apapun, tentang apa yang ada dikepalaku. Yaa dia memang selalu mengerti. 

“habis ini kita mau kemana?” sepertinya ia tidak mau membahas lenbih lanjut tentang pernikahannya. 

“aku mau ke apartemen kamu” kali ini dia menunjukan ekspresi terkejutnya dengan jelas “kamu yakin?” tanyanya. “iya, selama ini kan aku gak pernah tahu tentang hidup kamu, beda sama kamu yang udah masuk ke hidup aku, aku pengen tahu tempat tinggal kamu seperti apa, mungkin ini kesempatan terakhir aku buat ngelepas semua ke egoisan aku selama ini, aku tak pernah apa-apa tentang kamu Arka” kataku, kali ini aku yang menunduk 

**

Malam sudah larut ketika kami  tiba di apartemennya, sebuah apartemen yang terletak di lantai 30 sebuah gedung. 

Arka mempersilahkan aku masuk, apartemen dengan satu buah kamar utama dan satu kamar tamu. Cukup rapih untuk tempat tinhgal lelaki sepertinya. Aku melihat-lihat sekitar tempat tidurnya, ada meja kecil disamping ranjang. Terdapat beberapa foto disana, ada foto dia ketika kecil dan dia bersama keluarganya. Aku memandanginya lama, keluarga? Ah sesuatu yang tak pernah kupunya. 

"kanaya, kamu mau minum  apa?" arka membuka sebuah kulkas kecil yang terletak di pantry. 

"air putih saja" jawabku. 

Kami duduk di sofa yang terletak didepan ranjangnya, "kamu mau nonton film?" ia kembali bertanya "tidak, arka". 

"maaf yah selama ini aku gak pernah mau tahu apa-apa tentang kamu, hidup kamu, semuanya. Aku merasa egoiis,  ini benar-benar kesempatan terakhir aku buat tahu sedikit tentang kamu" aku menunduk. 

"oh kanaya, kamu gak perlu kaya gitu, aku tahu kamu." dia mengangkat daguku

" jadi kamu sengaja mau main ke apartemenku karena itu?" 

Aku hanya mengangguk samar. 

"sebenernya kita sama-sama tidak tahu tentang diri kita masing-masing bukan? Kamu g pernah ngebisrin aku masuk kekepalamu" gumamnya lembut "apakah sekarang itu penting?" ia mengecup  lembut bibirku Aku membalasnya, tak lama  bibir kami sudah saling berpagutan. 

Aku tak benar-benar bisa nenikmatinya karena kepalaku kembali mengambil alih. 

Apakah ini penting sekarang? Berusaha men cari tahu tentang diri masing-mssing,? oh tentu saja dia benar, sekarang itu sama sekali tak penting baginya , toh besok lusa dia akan menikah. 

Tapi sekarang itu penting bagiku,

Bagaimana mungkin seseorang  yang bisa menmbus mataku, satu-satunya orang yang kubiarkan masuk ke hidupku, harus kulepaskan begitu saja karena keegoisanku selama ini. Padahal padanyalah aku pulang, berkali-kali. 

Lalu setelah ini apa?

Perpisahan selamanya? Tak ada pertmuan lagi?

Itu artinya aku akan sendirian lagi?

 Aku akan sendirian lagi seperti ketika orang-orang yang mungkin bisa kusebut keluarga pergi, 

Iya 18 tahun yang lalu ketika aku tepat berumur 5 tahun, didepan mataku sendiri si brengsek yang kusebut ayah, menusuk dada ibuku dengan belatinya, sementara aku hanya bisa menyaksikan semua itu dengan ketakutan setengah mati. 

si brengsek itu dengan matanya yang serupa mataku menatapku tajam, seolah aku ini adalah mangsa berikutnya. Beruntung sebelum itu terjadi seorang tetangg  yang kebetulan lewat melihat kejadian itu dansegera menolongku, meski akhirnya dia harus menerima beberapa tikaman di tubuhnya sebelum para tetangga datang karena mendengar keributan. 

Besoknya ibuku dimakamkan. Aku hanya bisa duduk bersimpuh di samping makan ibu, tak ada air mata karena memang tak mengerti betul apa yang sedang terjadi. Aku hanya mendengar para tetangga yang ikut ke pemakaman berbisik-bisik tentang diriku. 

 Yang aku tahu waktu itu, aku sendirian, tak ada keluarga lain, karena ibuku memang sudah di usir dari keluarganya karena menikah dengan si brengsek yang memnag tak jelas asal-usulnya. Hanya sekilas yang aku tahu dari kepolisian yang menanganai kasus ini, si brengsek itu akan dikirim kenegara asalnya Austria untuk mendapat hukuman atas kejahatan-kejahatannya, karena ternyata dia adalah seorang kriminal yang selama ini dicari, dinegaranya 

Sedang aku, karena tidak ada kerabat yang bersedia menampung, otomatis  masuk kesebuah panti asuhan. Tinggal bersama anak-anak yang asing, sementara setiap malam kejadian itu selalu jadi mimpi-mimpi yang mengerikan, trauma itu membuatku tumbuh menjadi anak yang pendiam, aneh dan murung. Aku tak pernah mempercayai siapapun, karena aku selalu berfikir  entah dari belakang atau dari depan sekalipun mereka akan menikamku dengan belati-belati yang mereka bawa di tangan.Tak pernah membiarkan ada orang lain mendekatiku, karena belajar dari ibuku, justru orang yang kamu sayangilah yang paling mampu melukai bahkan menghancurkanmu. 

Sekarang, dengan bodohnya aku telah membiarkan Arka masuk ke hidupku. 

Kami masih saling berpagutan di atas sofa, bergelung penuh birahi. Oh lihat kurasa lelaki inipun sama brengseknya, bagaimana mungkin dia mengatakan lusa akan menikah dan sekarang masih bisa bercumbu denganku, menikmati tubuhku seperti biasa. Sialan! 

Ketakutan akan ditinggalkan sendirian lagi membuat semua luka itu muncul kepermukaan. Aku kehinalangan kendali atas tubuhku sendiri. Mataku mendadak membelalak nyalang, aku segera bangun dan melepaskan diri dari pelukan arka. 

“kanaya, kenapa?” ekspresinya tak dapat kutebak “ are you okay?”

“gak, gak apa-apa arka, aku hanya butuh sedikit udara segar saja” seraya berlalu menuju jendela besar  yang langsung mengaidangakn pemandangan gelap yang pekat, dimana lampu-lampu di kota ini? Kenapa begitu gelap? 

“boleh aku buka?” aku menoleh pada lelaki itu. Dia langsung menghampiriku dan membuka jendelanya. Angin malam menyeruak masuk memberikan hawa dingin yang aneh.

“feel better?” tanyanya lembut. Aku mengangguk.

“mau aku buatkan teh?” masih tersisa sedikit kecemasan di wajahnya melihat perubahanku tadi. Kembali aku mengangguk, samar. Lelaki itupun berlalu menuju pantrynya. 

Pandanganku kembali beralih kejendela besar itu, tetap hanya kegelapan yang aku lihat.  Oh Tuhan  luka ini begitu nyata, ada  banyak hal yang tak bisa dihapuskan oleh waktu. 

Aku menaiki jendelanya, dengan lompatan kecil kakiku mengunjak tembok bagian  luar  jendela tersebut. Rambutku terhempas oleh angin yang menerpa tubuhku, dingin yang lebih menusuk ini sama sekali tak mengganggu. Perlahan aku berjalan diatas tembok kecil tepian gedung, memutar  menyusuri  lekuk bangunan tersebut, kepalaku mendadak menjadi sangat jernih, aku bisa melihat semua luka itu dengan jelas dari atas sini, dibawah sana ada kegelapan yang lebih nyata yang dapat dilihat semua mata. 

Aku sampai pada jendela  lainya dan mencoba melihat kedalam, ternyata ini adalah jendela  pantry lelaki itu, karena aku bisa melihat punggungnya dari sini. Ia sedang manuangkan air panas kesebuah cangkir, lalu kemudian menambahkan sedikit gula dan mengaduknya perlahan. 

Bagaimana mungkin setelah aku tahu  bagaiman a rasanya tidak sendirian, setelah ia membawa jiwaku dari kegelapan, seharusnya ia tak boleh meninggalkanku begitu saja bukan?. Memang salahku selama ini, karena tetap jatuh cinta dengan kesedihanku, tak mebiarkannya menyelamatkanku, namun aku tak pernah berfikir bahwa dia akan pergi. 

Lelaki itu berbalik dengan cangkir ditangannya, ia terbelalak tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Serta merta ia kembali meletakkan cangkirnya dan dengan panik setengah mati melompat kearah jendela, membukanya dengan sekali hentak yang malah mebuat tubuhkuku terlempar kebawah. Tanganku sempat meraih tepian tembok dibawahnya, kemudian ia menuruni jendela, berusaha meraih tanganku dan menariknya keatas. 

“astaga kanaya apa yang kau lakukan?” ia berteriak 

Sedang hal yang kulakukan adalah sebaliknya, berusaha melepaskan tangannya dari tanganku. 

“Kanaya aku mohon  jangan bertindak  bodoh” ia kembali berteriak panik, satu tangannya  bertumpu pada jendela agar kami tidak tertarik jatuh karena ulahku. 

“ssshhh Arka it’s okay, just look at my eyes. Kamu benar  Arka didalam sana gelap, aku menyembunyikan sesuatu, salahku selama ini menolakmu untuk keluar dari sana dan tidak membiarkanmu menyelamatkanku dari semua kesia-siaan  ini”  Arka masih berusaha menarik tanganku namun dengan lebih keras pula aku berusaha melepaskannya. 

“ Kanaya aku mohon” teriaknya kalap. 

“Sayang, terimakasih atas semua ini, bagaimanapun itu lebih baik  dari pada sendirian, maaf aku tak bisa menarik diriku dari kegelapan itu, aku selalu bertanya-tanya apa yang salah denganku. Arka aku tak bisa merelakanmu begitusaja kali ini, aku tak bisa sendirian lagi menjalani semuanya tapi tidak mungkin juga bagiku kembali membuka kesempatan untuk orang lain seperti yang kamu katakan, jadi pada akhirnya aku rasa aku memang harus jatuh, please let me go!”  lalu entah dengan kekuatan dari mana aku berhasil melepaskankan tanganku dari lelaki itu. 

Aku seolah terbang, tubuhku melayang dan aku membiarkan diriku benar-benar jatuh sepenuhnya kedalam kegelapan dibawah sana, kali ini aku memastikan tak akan pernah membuka hatiku lagi, karena jika itu terjadi kembali, artinya adalah merelakan belati lain megulitiku lebih keji dari pada ini. 

Maka dari itu aku memilih mati. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun