2 November nanti Kompasianival -- "hari raya" penulis Kompasiana -- akan digelar. Puncak perayaan adalah dengan memberi penghargaan kepada penggiat literasi di Kompasiana. Para nomine dari berbagai kategori sudah diumumkan.
Kali ini saya akan mencoba untuk membaca kategori Best in Fiction. Nominenya adalah, Itha Abimanyu (puisi), Â S Eleftheria (cerpen), Zahrotul Mujahidah (cerpen), Rika Apriani (puisi), dan Wening Yuniasri (puisi). Dan semuanya perempuan. Siapa pemenangnya?
Kalau melihat 7 tahun sebelumnya sepertinya para penulis puisi yang lebih banyak memenangkannya. Lilik Fatimah Azzahra (cerpen, 2017), Wahyu Sapta (cerpen, 2018), Pringadi Abdi Surya (puisi, 2019), Katedrajawen (puisi, 2020), Indra Rahadian (alm) (cerpen, 2021), Fatmi Sunarya (puisi, 2022), dan Ayah Tuah (puisi, 2023).
Apakah tahun ini milik cerpenis?
Sebenarnya kurang "fair" harus membanding dan menyandingkan puisi dan cerpen (atau prosa lainnya, seperti novel), untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Masing-masing punya keunikan dan kesulitan sendiri. Para penyair belum tentu bisa lebih baik menulis cerpen. Pun, sebaliknya, cerpenis kadang gagap dalam menulis puisi. Walaupun ada yang bisa menulis keduanya sama bagusnya.
Tapi, baiklah, Kompasiana tetap menyatukan -- puisi dan cerpen -- untuk kategori Best in Fiction. Bagaimana peluang para nomine ini? Mari kita baca.
1. Itha Abimanyu (puisi).
Entah kenapa penyair perempuan dalam menulis puisi terkesan seragam (tentu ini penilaian subjektif saya). Masih berputar-putar di lingkaran rindu, cinta, patah hati, dan sejenisnya. Atau mengulang-ulang hujan dan senja. Walau tak dipungkiri penyair lelaki juga melakukan hal yang sama.
Bagaimana dengan Itha Abimanyu? Kurang lebih sama. Yang membedakan, Itha mengerti bagaimana seharusnya sebuah puisi ditulis. Dia bisa menempatkan sebuah frasa menggunakan metafora atau tidak, dan pandai memilih dan menyelaraskan diksi hingga menimbulkan rima yang menarik. Bukan sekadar memindahkan raungan ala buku harian. Tidak juga main tempel setiap apa yang dilihat. Lihat batu, tulis batu. Lihat ban motor bocor, tulis bocor. Lihat pacar selingkuh? Ini mah ngajak perang.
Kesendirian, patah hati, ataupun jatuh cinta pada puisi-puisi Itha tidaklah mengabarkan, makan tak enak tidur tak nyenyak, tapi kita membacanya sebagai rasa ngilu yang indah. Bahkan kita bisa menertawainya.