Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Best in Fiction 2024 Kompasiana, Panggungnya Cerpenis?

21 Oktober 2024   16:36 Diperbarui: 21 Oktober 2024   20:50 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber gambar: tangkapan layar Kompasiana.
Sumber gambar: tangkapan layar Kompasiana.

2 November nanti Kompasianival -- "hari raya" penulis Kompasiana -- akan digelar. Puncak perayaan adalah dengan memberi penghargaan kepada penggiat literasi di Kompasiana. Para nomine dari berbagai kategori sudah diumumkan.

Kali ini saya akan mencoba untuk membaca kategori Best in Fiction. Nominenya adalah, Itha Abimanyu (puisi),  S Eleftheria (cerpen), Zahrotul Mujahidah (cerpen), Rika Apriani (puisi), dan Wening Yuniasri (puisi). Dan semuanya perempuan. Siapa pemenangnya?

Kalau melihat 7 tahun sebelumnya sepertinya para penulis puisi yang lebih banyak memenangkannya. Lilik Fatimah Azzahra (cerpen, 2017), Wahyu Sapta (cerpen, 2018), Pringadi Abdi Surya (puisi, 2019), Katedrajawen (puisi, 2020), Indra Rahadian (alm) (cerpen, 2021), Fatmi Sunarya (puisi, 2022), dan Ayah Tuah (puisi, 2023).

Apakah tahun ini milik cerpenis?

Sebenarnya kurang "fair" harus membanding dan menyandingkan puisi dan cerpen (atau prosa lainnya, seperti novel), untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Masing-masing punya keunikan dan kesulitan sendiri. Para penyair belum tentu bisa lebih baik menulis cerpen. Pun, sebaliknya, cerpenis kadang gagap dalam menulis puisi. Walaupun ada yang bisa menulis keduanya sama bagusnya.

Tapi, baiklah, Kompasiana tetap menyatukan -- puisi dan cerpen -- untuk kategori Best in Fiction. Bagaimana peluang para nomine ini? Mari kita baca.

1. Itha Abimanyu (puisi).
Entah kenapa penyair perempuan dalam menulis puisi terkesan seragam (tentu ini penilaian subjektif saya). Masih berputar-putar di lingkaran rindu, cinta, patah hati, dan sejenisnya. Atau mengulang-ulang hujan dan senja. Walau tak dipungkiri penyair lelaki juga melakukan hal yang sama.

Baca juga: Selepas Pertemuan

Bagaimana dengan Itha Abimanyu? Kurang lebih sama. Yang membedakan, Itha mengerti bagaimana seharusnya sebuah puisi ditulis. Dia bisa menempatkan sebuah frasa menggunakan metafora atau tidak, dan pandai memilih dan menyelaraskan diksi hingga menimbulkan rima yang menarik. Bukan sekadar memindahkan raungan ala buku harian. Tidak juga main tempel setiap apa yang dilihat. Lihat batu, tulis batu. Lihat ban motor bocor, tulis bocor. Lihat pacar selingkuh? Ini mah ngajak perang.

Kesendirian, patah hati, ataupun jatuh cinta pada puisi-puisi Itha tidaklah mengabarkan, makan tak enak tidur tak nyenyak, tapi kita membacanya sebagai rasa ngilu yang indah. Bahkan kita bisa menertawainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun