Benar, sederhana. Ia bukanlah hal-hal yang mahal. Melakukan kebajikan itu intinya, mau atau tidak.
Jangan bayangkan kalau berbuat kebajikan harus melakukan tindakan heroik: Terjun di tempat-tempat bencana, bagi-bagi sembako, dan lain-lainnya, yang membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Ia dapat dilakukan dari rumah, atau saat kita melakukan kegiatan rutin. Waktu berbelanja ke pasar, ketika berangkat kerja, atau saat-saat berinteraksi dengan para tetangga di seputar tempat kita tinggal.
Apa yang dapat kita perbuat? Banyak! Dari hal-hal yang kecil, dan tanpa modal. Kalau modal yang dimaksud adalah uang.
Ini tanpa disadari sebenarnya sering kita lakukan. Mungkin saat bertegur sapa dengan seseorang yang kita kenal (atau yang baru bertemu), memboncengkan dengan kendaraan kita kalau tujuan orang itu searah. Atau sekadar menolong tetangga kita saat kekurangan bumbu ketika dia tengah memasak.
Kita menunjukkan bahasa tubuh yang ramah.
Atau menyingkirkan batu-batu, kayu-kayu, yang mengganggu di jalan. Atau ikut gotong-royong di lingkungan warga. Atau menjaga agar tetangga tetap nyaman, mungkin, oleh kelakuan kita. Siapa tahu aktifitas kita di rumah menimbulkan kebisingan yang mengganggu tetangga.
Bahkan, dengan nilai uang terkecil pun -- pecahan seribu atau dua ribu rupiah -- kita dapat melakukan kebajikan ke sesama. Uang senilai itu, untuk sebagian banyak orang, mungkin sudah jarang memegangnya. Kalaupun toh ada itu karena kembalian saat berbelanja di minimarket.
Uang sebesar itu, kalau kita berikan kepada pengemis, tukang parkir "dadakan", anak-anak muda yang mengatur lalu lintas di tempat kendaraan memutar arah, sangat bermanfaat. Tapi yang terjadi kepala kita mendadak penuh "racun": Dasar Pemalas!
Dalam berbuat kebajikan tak perlu kita menunggu-nunggu. Ah, nanti kalau ada waktu luang. Atau kalau mempunyai uang berlebih, kaya. Bila berpikiran seperti itu kita tak akan pernah melakukannya. Karena kita selalu berhitung-hitung. Tak ada lagi rasa keikhlasan.