Nganu I
(Toko Mebel)
"Begini, Pak ..., kami berencana membeli beberapa set mebel dari toko Bapak, untuk keperluan beberapa kantor kami. Berapa harganya?"
"O, macam-macam, Pak. Lihat gambarnya. Yang ini 17 juta per set. Ini 30-an juta. Dan ini, lebih 50 juta."
"Nah, yang ini saja. Kami ngambil 5 set. Berapa harga pastinya?"
"Harga sebenarnya 35 juta. Tapi karena  Bapak membeli 5 set, kami kurangi harganya. Jadinya 32 juta per set."
"Oke. Tapi nanti di kwitansinya ditulis 42 juta, ya?"
"Tapi, Pak, nganu ...?"
"Mau, nggak? Kalau nggak saya cari di toko lain."
"Bb-bisa. Bisa, Pak."
***
Nganu II
(Kantor Kelurahan Nganu Jaya)
"Siapa yang membuat laporan keuangan ini?"
"Saya, Pak Lurah."
"Apa-apaan ini? Kamu sudah gila, ya? Masak renovasi kantor kelurahan kamu tulis 45 juta?"
"Itu benar, Pak Lurah. Boleh Bapak periksa lagi kwitansinya, juga upah untuk para pekerja. Semuanya lengkap."
"Saya tahu, saya tahu. Sekarang coba ditulis ulang, untuk renovasi tulis 78 juta."
"Nganu, Pak. Ini ... ini?"
"Sudah, tulis aja. Oh, ya, jangan tulis 78 juta, tapi tulis 78 juta lima ratus enam puluh tiga ribu rupiah - Rp78.563.000,00. Mengerti?"
"Siap, Pak Lurah. Tapi kenapa angkanya harus ganjil-ganjil seperti ini?"
"Kalau menulis laporan keuangan harus begitu. Kalau angka-angka bulat nanti orang curiga."
"Begitu, ya?"
"Ya, begitu. Ini anggaran untuk Karang Taruna, Ibu-Ibu PKK, perbaikan saluran air, kok nggak ditulis?"
"Lha, kan memang pihak kelurahan tidak memberinya, Pak?"
"Sembarangan, kamu. Tulis saja!"
"Siap, Pak!"
"Mm, cicilan motor kamu tinggal berapa bulan lagi?"
"Sekitar tujuh bulan lagi, Pak.
"Kerja saja yang benar. Nanti cicilan itu saya yang nglunasi."
"Terima kasih, Pak. Terima kasih, Pak Lurah. Mudah-mudahan pemilihan lurah tahun depan Bapak terpilih lagi."
***
Nganu III
(Jalan Raya Nganu)
"Selamat siang."
"Siang, Pak."
"Mana surat-suratnya?"
"Ini, Pak. Lengkap."
"Bawa apa, mau ke mana?"
"Bawa sembako. Jakarta."
"Waduh, mobil ini bawa barang melebihi kapasitas. Lihat, sampai setinggi itu! Ini membahayakan!"
"Maaf, Pak. Saya salah."
"Nggak bisa! Bapak saya tilang. Atau mobil ini saya kandangin?"
"Waduh, jangan, Pak. Saya ngaku salah."
"Jadi, bagaimana?"
"Ya, udah, Pak. Ini, nganu ... ini sekadar uang rokok ...."
"Lima puluh? Ini untuk beli rokok dan nasi Padang nggak cukup."
"Kalau segini nggak pa pa kan, Pak?"
"Seratus? Nah, begitu. Tapi kan saya dua orang?"
"Yahh ..., Pak."
"Bapak ini harus menaati peraturan. Lihat ini! Ini kan membahayakan diri Bapak dan orang lain?"
"Ya, Pak."
"Ya, udah, sana jalan! Saya kasihan saja dengan Bapak. Kalau nggak sudah saya kandangin."
"Siap, Pak!"
***
Lebakwana, Desember 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H